JAKARTA (TAJUKTIMUR.COM) – PLT Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Wiratno mengatakan pihaknya akan menderita kerugian jika harga jual bijih nikel kadar rendah di dalam negeri tidak membaik.
Pasalnya kata dia, nilai harga yang ditawarkan oleh pengusaha smelter untuk bijih nikel kadar rendah jauh dibawah harga.
Dia juga menerangkan bahwa teknologi yang digunakan smelter dalam negeri sebenarnya mampu mengolah bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7%.
“Namun, harga yang dipatok oleh pembeli sangat rendah, sehingga tidak ekonomis bagi penambang. Sangat mampu mengolah. Tapi, harganya sangat rendah,” ujarnya dalam releasenya kepada awak media, Sabtu (17/3).
Sementara itu Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menuturkan biaya produksi bijih nikel dapat mencapai US$16 – US$17 per ton basah (wmt) sedangkan harga yang dipatok pembeli untuk bijih nikel dengan kadar 1,7% hanya US$15 per wmt.
“Jadi penambang justru akan merugi apabila menjual bijih nikelnya di dalam negeri. Padahal, bila diekspor nilai mencapai US$35 per wmt,” terangnya.
Dia menyesalkan belum berjalannya harga patokan mineral (HPM) untuk komoditas logam yang telah ditetapkan pemerintah.
Oleh karenanya dia berharap agar Kementerian ESDM mengambil kebijakan guna optimalnya implementasi tataniaga komoditas logam tersebut. Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM no. 7 tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
Sementara itu sebelumnya Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono, menegaskan akan mengkaji kembali seluruh kebijakan rantai pasokan bijih nikel untuk smelter di dalam negeri.
Kata dia, hal itu sesuai dengan political will pemerintah yang menginginkan kebijakan mineral sesuai dengan perkembangan zaman.
“Hal tersebut mencakup konservasi cadangan mineral serta praktik pertambangan yang baik,” ujar Bambang pada acara focus group discussion di Kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kamis (15/3) kemarin.
Bambang juga menyatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan seluruh masukan dari para pelaku usaha dalam menentukan kebijakan ke depan sehingga tidak menutup kemungkinan akan ada koreksi atas kebijakan yang telah berjalan.
“Kami akan terus melakukan pertemuan dengan pelaku usaha nikel, sehingga kami minta APNI dan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), menyampaikan seluruh data rantai pasokan dan kebutuhan bijih nikel secara mendetail,” ujarnya lagi.
“Mesti ada pertemuan lanjutan. Saya kasih tahu supaya mereka (APNI red) dan AP3I bisa lebih transparan menyampaikan data-datanya,” imbuhnya.
Dia menambahkan bahwa berdasarkan data hingga saat ini smelter nikel yang ditargetkan beroperasi mencapai 15 unit dengan kapasitas input smelter mencapai 35,22 juta ton bijih nikel per tahun.
“Dari rencana pembangunannya, sebanyak 31 smelter nikel ditargetkan beroperasi pada 2022. Kapasitas input smelter pun akan melonjak hingga 71,2 juta ton bijih nikel per tahun,” pungkasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.