JAKARTA – Asosiasi Smelter Indonesia mengapresiasi sikap pemerintah yang konsisten dengan kebijakan larangan ekspor mineral mentah.
Hal ini dinilai baik untuk kesinambungan program hilirisasi karena berdampak positif bagi industri. Ketua Asosiasi Smelter Indonesia R Sukhyar mengatakan, larangan ekspor mineral mentah merupakan elemen vital bagi kesinambungan program hilirisasi. Pemerintah sudah sepatutnya konsisten menerapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah. Sejauh ini, ujar dia, sudah banyak kemajuan, terutama di komoditas nikel dan bauksit. Di sektor nikel, produksi smelter telah mencapai 217.500 ton dan akan meningkat menjadi 363.000 ton pada tahun depan.
“Bayangkan untuk bijih nikel saja dibutuhkan kurang lebih 28 juta ton. Pembukaan ekspor bahan mentah, kendati menggunakan skema bea keluar, tetap akan mengancam kesinambungan pasokan bahan mentah ke smelter,” ujar Sukhyar kemarin. Dia menambahkan, pemerintah diharapkan tetap mempertahankan kebijakan yang dinilai sudah cukup mendukung kemajuan industri. “Jangan sampai kemajuan yang sudah dicapai ini malah menjadi mundur karena keinginan satu dua perusahaan. Perusahaan yang sudah membangun smelter di Indonesia lalu dimatikan lagi dengan kebijakan baru,” tegasnya.
Sukhyar menambahkan, asosiasi sangat menghargai langkah pemerintah yang menangguhkan relaksasi dan konsisten terhadap larangan ekspor. Kebijakan tersebut juga disambut baik sejumlah pengusaha smelter yang mulai merelokasi pabriknya ke Indonesia karena kebijakan larangan ekspor.“Ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk maju ke tahap industrialisasi pertambangan,” katanya.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah menegaskan, kesinambungan program hilirisasi perlu dijaga karena merupakan bentuk konsistensi pemerintah dalam memberikan kepastian regulasi bagi semua pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi. Menurutnya, strategi pembangunan dalam memberikan nilai tambah yang sebesar- besarnya untuk kepentingan masyarakat merupakan mandat konstitusi kepada pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pertambangan mineral salah satunya.
Arah positif ini harus terus dipertahankan, jangan sampai pemerintah kendur dalam menerapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah dan kewajiban membangun industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. “Jika ditarik ulur, sama saja pemerintah menciptakan ketidakadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang mengelola sumber daya mineral di Indonesia,” imbuhnya. Maryati menambahkan, kebijakan larangan ekspor sebagai bagian dari strategi hilirisasi sumber daya mineral, yang diikuti transparansi dan perbaikan tata kelola akan memberikan dampak positif bagi lingkungan.
Paling tidak, ujar dia, hal tersebut dapat menahan laju eksploitasi besar-besaran sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya. “Tidak ada lagi kegiatan pertambangan yang membabi buta, tidak memperhatikan daya dukung dan keseimbangan lingkungan, serta tidak lagi menimbulkan konflik sosial karena minimnya konsultasi dan pemenuhan hak-hak masyarakat lingkar tambang,” tegasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.