Banyak tambang tutup, penambang nikel tagih pengaturan tata niaga dan harga domestik
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Percepatan larangan ekspor bijih mentah (ore) nikel kadar rendah di bawah 1,7% telah resmi berlaku sejak 1 Januari 2020. Penambang nikel melalui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun menagih pengaturan tentang tata niaga dan harga bijih nikel domestik antara penambang dan smelter.
Pasalnya, sejak larangan ekspor ore nikel diberlakukan, banyak penambang yang memilih untuk tidak melakukan aktivitas penambangan. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, langkah itu diambil lantaran kondisi tata niaga dan harga nikel domestik saat ini dinilai masih membebani penambang.
Apalagi, sambung Meidy, smelter lokal lebih memilih untuk menyerap ore nikel dengan kadar tinggi. "Jadi susah buat kita (penambang), yang diminta smelter lokal kadar tinggi, sedangkan harga jual untuk (nikel kadar rendah) tidak sesuai," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (16/1).
Meidy menjelaskan, mekanisme harga yang berlaku sekarang ini diatur berdasarkan kesepakatan business to business (B to B) antara penambang dengan smelter. Seharusnya, harga berpatok pada Harga Patokan Mineral (HPM) yang diatur setiap bulan.
Namun, pada praktiknya daya tawar smelter dalam menentukan harga lebih besar dibanding penambang. Sehingga, harga nikel kadar rendah yang dipatok ke smelter berada di bawah standar HPM.
Adapun, harga domestik yang pernah dianjurkan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) yakni dalam rentang US$ 27 - US$ 30 per metrik ton, pada praktiknya juga tidak terlaksana.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) siapkan US$ 3,44 juta untuk reklamasi tambang
Oleh sebab itu, Meidy meminta supaya pemerintah mempertegas aturan terkait tata niaga dan harga domestik ke dalam bentuk regulasi khusus, supaya keekonomian penambang lebih terjamin.
"Tata niaga harus diterbitkan satu aturan, regulasi. Kalau hanya B to B tidak bisa, mesti ada penekanan dari pemerintah," sebut Meidy.
Meidy bilang, untuk penambang yang sudah berkontrak, produksi masih tetap berjalan. Namun, bagi yang belum berkontrak, Meidy menyebut bahwa banyak penambang yang memilih untuk tidak melakukan produksi. "Yang sudah ada kontrak ya lanjut (produksi). Untuk kontrak baru nggak mau supply, diam dulu," sambungnya.
Sayangnya, Meidy tidak menyebut berapa jumlah penambang yang kini memilih untuk tidak berproduksi. Yang jelas, kata Meidy, para penambang itu tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Menurut Meidy, kondisi ini bisa jadi hanya berlangsung sementara. Jika sudah ada pengaturan tata niaga dan harga, Meidy memprediksi para penambang akan kembali berproduksi. "Sementara ya, menunggu (pengaturan) tata niaga," ungkap Meidy.
Lebih lanjut, ia juga menekankan bahwa beban bagi penambang lebih berat sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam beleid ini, tarif royalti untuk bijih mentah (ore) dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan produk tambang yang sudah diolah atau dimurnikan diberikan tarif yang lebih murah.
Sebagai contoh, di PP ini, tarif royalti untuk bijih nikel dikenakan sebesar 10% dari harga jual per ton. Naik dua kali lipat dari tarif sebelumnya yang hanya sebesar 5%, sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 2012.
"Kewajiban kita bayar berpatokan ke HPM, harga tidak. Ditambah lagi kewajiban naik dari 5% jadi 10%," tegas Meidy.
Oleh sebab itu, Meidy merasa pengaturan harga dan tata niaga ini mendesak diterbitkan. Adapun, Meidy meminta supaya mekanismenya masih bersandar pada HPM, namun dengan batas bawah yang harus ditaati dalam praktek di lapangan.
"Tinggal kita atur, harga terendahnya dimana. Misal HPM US$ 30, nanti mentok harganya di US$ 20 atau US$ 25," jelasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.