Begini hitungan dividen dan pembayaran global bond Inalum setelah punya Freeport
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah resmi menggenggam 51,23% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) tepat pada Jumat (21/12) pekan lalu. Proses divestasi itu dirampungkan setelah Inalum membayar mahar sebesar US$ 3,85 miliar, lewat dana yang diperoleh dari penerbitan global bond sebesar US$ 4 miliar.
Lantas, setelah ini, berapa keuntungan finansial yang akan diperoleh Inalum setelah memegang mayoritas saham di PTFI? Bagaimana pula cara holding industri pertambangan BUMN ini dalam membayar pinjamannya?
Menjawab pertanyaan tersebut, Direktur Keuangan Inalum Orias Petrus Moedak meyakinkan, Inalum tak akan butuh waktu lama untuk balik modal. Pasalnya, dengan menggenggam 51,23% saham PTFI, Inalum diproyeksikan bisa meraup dividen sekitar US$ 1 miliar per tahun.
Namun, menurut Orias, yang pascadivestasi ini menduduki jabatan sebagai Wakil Direktur Umum PTFI, dividen sebesar itu tidak akan langsung didapatkan Inalum pada tahun 2019 mendatang. Orias bilang, baru pada tahun 2022 Inalum bisa menikmati dividen sekitar US$ 1,3 miliar.
“Mulai tahun 2022 itu sekitar US$ 1,3 miliar. Tahun 2023, 2024, 2025, seterusnya, sekitar US$ 1 miliar,” kata Orias kepada Kontan.co.id di Kantor Inalum-Energy Building SCBD Jakarta, pada Kamis (27/12).
Orias menjelaskan bahwa mulai tahun 2019 hingga tahun 2021, tambang terbuka (open pit) Grasberg milik PTFI akan habis dan transisi ke tambang bawah tanah (underground mine).
Alhasil, pendapatan dan laba Freeport pun akan turun. Apalagi, investasi untuk mengembangkan underground mine ini bisa menyedot dana sekiatr US$ 1 miliar per tahun.
Orias mengatakan, dalam setahun, saat ini PTFI mengunci pendapatan sekitar US$ 6 miliar. Dari jumlah itu, PTFI meraup laba di angka US$ 2 miliar per tahun. Sedangkan pada masa transisi dari open pit ke underground mine itu, lebih dari separuh pendapatan PTFI akan mengalami penurunan.
“Kami kan asumsinya konservatif. Hitungan kami karena mau masuk ke undergorund mine. Pasti akan turun, sekitar 60%-an dari yang ada sekarang. Itu saja, simple alasannya,” jelas Orias.
Dalam data yang dipaparkan Inalum, proyeksi pendapatan PTFI pada tahun 2019 hanya US$ 3,14 miliar, sedangkan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi atau earnings before interest, tax, depreciation and amortization (EBITDA) di tahun yang sama adalah US$ 1,25 miliar. Jumlah itu menurun lebih dari separuh pendapatan PTFI pada tahun ini adalah US$ 6,52 miliar dan EBITDA sebesar US$ 4 miliar.
Pendapatan PTFI baru bisa mencapai US$ 6 miliar pada tahun 2022. Sebelum itu, pada tahun 2020, pendapatan PTFI diproyeksikan hanya sampai di angka US$ 3,83 miliar dan EBITDA US$ 1,79 miliar. Sementara pada tahun 2021, pendapatan diprediksi sebesar US$ 5,12 milair dan EBITDA US$ 2,64 miliar.
Pada tahun 2022, pendapatan sudah kembali menyentuh angka US$ 6,16 miliar dan EBITDA US$ 3,62 miliar. Setelah itu, dalam beberapa tahun ke depan, pendapatan PTFI diprediksi akan stabil, bahkan bisa menembus di atas US$ 7 miliar.
Adapun, pada tahun ini, Orias mengataka bahwa Inalum mendapatkan dividen dari PTFI sebesar US$ 180 juta yang diberikan sebelum transaksi divestasi dilakukan pada 21 Desember 2018 lalu. Angka itu didapatkan sesuai dengan porsi kepemilikan saham Inalum sebelum divestasi yang hanya 9,36%. Yang jelas, kata Orias, ini menjadi pembagian dividen yang terakhir dengan porsi 9,36%. Mulai tahun depan, dividen yang akan diterima Inalum sudah dengan perhitungan 51,23%.
“Kami (terima dividen) sebagai pemegang saham 51% mulai tahun depan, tapi ya itu, karena masuk underground mine, jadi dividennya tidak maksimal dibagi. Sampai tahun 2021 Inalum terima sekitar US$ 470 juta,” jelas Orias.
Orias pun ingin menegaskan bahwa divestasi ini membawa manfaat langsung bagi Inalum dilihat dari sisi peningkatan dividen. “(Sebelum divestasi), Freeport terima 10 kali dari dividen kita, karena dia 91%. Nanti kan secara keuangan (setelah divestasi), jadi bagi dua, (sekitar) 50:50 lah,” katanya.
Cepat Balik Modal
Dari hitung-hitungan pembagian dividen tersebut, Orias meyakinkan bahwa Inalum tak akan kesulitan untuk membayar global bond sebesar US$ 4 miliar. Sebab, jika dihitung Inalum mendapatkan dividen sekitar US$ 1 miliar dari tahun 2022, maka pada tahun 2025, dividen yang diperoleh Inalum telah melebihi pinjaman dari global bond yang sebesar US$ 4 miliar.
“Kalau dapat US$ 1 miliar setahun, terus bayarnya hanya US$ 3,85 miliar. Kebayar nggak? Ya kebayar dong, secara uang yang kami terima melebihi uang yang dipinjam,” ujarnya.
Namun, Orias mengatakan bahwa skema pembayaran global bond tidak bisa serta merta langsung dilunasi atau dipercepat, meski dana sudah terkumpul. Alasannya, karena pinjaman dari global bond ini memiliki jangka waktu pembayaran (tenor) masing-masing.
Untuk tahap pertama, kata Orias, Inalum akan membayar sekitar US$ 300 juta per tahun. Dana sejumlah itu akan dibayarkan dua kali dalam setahun selama tiga tahun sesuai tenor yang pertama.
“Mulai Mei 2019 kurang lebih dalam setahun (bayar) dua kali, sekitar US$ 300 juta, selama tiga tahun. Nanti tahun 2021 turun seperempatnya karena pokoknya berkurang sekitar US$ 1 miliar,” jelasnya.
Jadi, besaran pembayaran global bond Inalum akan mengikuti tenor yang telah disepakati dan terus turun sesuai dengan pokok yang telah dilunasi. Adapun, global bond yang diterbitkan Inalum meliputi empat tenor.
Pertama, dana senilai US$ 1 miliar diperoleh dengan kupon 5,23% yang jatuh tempo pada tahun 2021. Kedua, senilai US$ 1,25 miliar dengan kupon 5,71% dengan tenor hingga tahun 2023. Ketiga, senilai US$ 1 miliar dengan kupon 6,53% yang jatuh tempo pada tahun 2028. Keempat, senilai US$ 750 juta dengan kupon 6,75% dengan tenor hingga tahun 2048.
Dalam penerbitan global bond ini, BNP Paribas dari Perancis, Citigroup dari Amerika Serikat dan MUFG dari Jepang menjadi koordinator underwriter. Sementara CIMB dan Maybank dari Malaysia, SMBC Nikko dari Jepang dan Standard Chartered Bank dari Inggris bertindak sebagai mitra underwriter.
Untuk global bond yang terdaftar di Singapore Exchange Securities ini, Inalum mendapatkan rating Baa2 dari Moody’s dan BBB- dari Fitch. Sebelumnya, dalam penerbitan global bond ini Inalum menjamin bahwa tidak ada aset dan saham yang digadaikan oleh Inalum dan anak usaha, termasuk PTFI.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.