Bijih Nikel Tidak Boleh Diekspor Lagi per Januari 2020
JAKARTA.NIAGA.ASIA-Terhitung mulai 1 Januari 2020 bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7% tidak lagi diperbolehkan untuk dieskpor. Perusahaan memiliki masa transisi selama 4 bulan sejak bulan September ini hingga Desember 2019 untuk mulai menyesuaikan kebijakan baru ini.
Menurut Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono, kebijakan ini dikeluarkan Pemerintah agar perkembangan pembangunan smelter khususnya nikel dapat berjalan lebih cepat.
“Kita sudah menandatangani, Peraturan Menteri ESDM yang intinya adalah mengenai penghentian untuk insentif ekspor nikel bagi pembangun smelter per tanggal 1 Januari 2020. Jadi per 1 Januari 2020 tidak ada lagi ekspor nikel,” ujar Bambang, di Jakarta, sebagaimana dirilis di lama esdm.go.id.
Pembangunan smelter nikel yang ada saat ini dinyatakan Bambang sudah cukup banyak, dimana 11 smelter nikel sudah terbangun dan 25 smelter nikel dalam proses pembangunan. Dengan 36 smelter nikel tersebut, Pemerintah telah mempertimbangkan cost benefit untuk memroses di dalam negeri seluruh bijih nikel dengan berbagai kualitas.
Bambang menjelaskan, latar belakang dikeluarkannya kebijakan ini yang utama adalah terbatasnya ketahanan cadangan, cadangan terbukti untuk komoditas nikel nasional Indonesia sebesar 698 juta ton, hanya dapat menjamin suplai bijih nikel bagi fasilitas pemurnian selama 7,3 tahun (jika tidak ditemukan cadangan baru).
Sementara cadangan terkira yang sebesar 2,8 miliar ton masih memerlukan peningkatan faktor pengubah seperti kemudahan akses, perizinan (izin lingkungan), dan keekonomian (harga) untuk meningkatkan cadangan teknis menjadi terbukti. Sehingga, dapat memenuhi kebutuhan fasilitas pemurnian sekitar 42,67 tahun.
Untuk itu Pemerintah perlu mengambil langkah antisipatif agar umur cadangan tersebut dapat memenuhi umur keekonomian smelter. Di samping itu, terus berkembangnya teknologi pengelolaan nikel kadar rendah menjadikan cadangan yang dimiliki dapat dimurnikan di dalam negeri sebagai bahan baku baterai dan tidak perlu diekspor.
Pemanfaatan nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai menjadi prioritas sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery Untuk Transportasi Jalan. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di dunia untuk meproduksi baterai lithium ion, yaitu bijih nikel kadar rendah atau yang biasa disebut limonite (kandungan nikel 0,8-1,5%) ini.
Kebijakan baru pelarangan ekspor Bijih Nikel ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM yang sedang dalam proses di Kementerian Hukum Dan Ham. Kebijakan ini tentunya meningkatkan nilai tambah untuk produk nikel sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara untuk selanjutnya dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
“Kebijakan ini semata-mata demi peningkatan added value atau nilai tambah dari nikel yang akan kita tuju untuk pengelolahan mineral di seluruh Indonesia,” tutup Bambang.(001)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.