Bos Inalum Ungkap Negara Terancam Rugi Rp 3,5 T di Proyek Smelter Antam
Proyek smelter nikel milik PT Antam Tbk di Tanjung Buli, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara hingga kini belum beroperasi. Padahal pabrik pengolahan nikel menjadi feronikel yang digarap sejak 2012 itu harusnya sudah beroperasi pada 2019.
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Orias Petrus Moedak mengungkapkan, negara terancam rugi Rp 3,5 triliun di proyek smelter ini. Sebab, proyek ini dibangun dengan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 3,5 triliun. Sebenarnya konstruksi fisik smelter sudah mencapai 97,98 persen dan siap beroperasi. Tetapi tidak ada pasokan listrik.
"Harus secara gamblang disampaikan kalau proyek ini dilanjutkan lebih ke penyelamatan apa yang sudah di-spend (dikeluarkan). Karena ini dana dari PMN sekitar Rp 3,5 triliun, tetapi tidak bisa sampai tuntas karena listriknya tidak ada," kata dia dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Selasa (30/6). Orias mengatakan, Inalum sebagai induk holding BUMN pertambangan sudah menugaskan Direksi Antam untuk menyelesaikan persoalan pasokan listrik ke smelter ini.
Persoalan ini berawal dari tahun 2012 ketika Antam melakukan tender untuk konstruksi bangunan dan penyediaan listrik smelter nikel ini. Tender untuk konstruksi dimenangkan oleh PT Wijaya Karya Tbk (Persero). Sedangkan pemenang tender untuk penyediaan listrik adalah PT BGP. Namun di tengah jalan, PT BGP ternyata mengalami masalah keuangan dan tidak dapat menyelesaikan proyek.
"Jadi sejumlah uang dari PMN dan kas dibangun smelter, sebagian pembangkit listrik melalui tender. Di tengah jalan, konsorsium swasta (BGP) mengalami masalah keuangan, kemudian Antam putuskan proyeknya (BGP) dibatalkan," ujar Direktur Utama PT Antam Tbk, Dana Amin.
Untuk menyelesaikan persoalan pasokan listrik ini, Inalum sudah berbicara dengan PT PLN (Persero) dan akhir bulan ini akan mendapat jawaban dari BUMN kelistrikan tersebut. J
ika PLN tak bersedia, maka Antam harus mencari produsen listrik swasta. Diakui Inalum, karena pihak Antam sangat butuh listrik untuk menyelamatkan proyek smelter ini, tawaran harga listrik dari produsen sangat mahal. Smelter feronikel ini ditargetkan bisa mengolah bijih nikel menjadi feronikel dengan kapasitas 13.500 ton Ni. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Maman Abdurrahman, mengaku heran dengan perencanaan pembangunan smelter nikel Antam.
Menurutnya harus ada pembahasan lebih detail terkait proyek ini karena sudah menelan dana besar dari PMN. Kini, Antam berinvestasi bukan untuk untung tapi hanya sekadar menekan kerugian.
"Membangunnya (smelter) sambil tidur, pas selesai baru sadar listriknya mana. Ini gila, ngawur, saya berpikir bapak-bapak di Antam saat bangun smelter itu sambil tidur. Itu harus disampaikan kenapa bisa terjadi seperti itu. Untuk breakdown detail project yang terhambat atau menemui masalah. Jangan tutupi masalah, harus ada keterbukaan. Spend uang cuma buat menekan kerugian," ujar Maman.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.