Dampak Radioaktif Tambang Timah, Masyarakat Bangka Rentan Terpapar Corona?
Puluhan tahun masyarakat Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terpapar radioaktif sebagai dampak penambangan timah. Ribuan warga Bangka terkena penyakit paru-paru. Kondisi ini, membuat warga Bangka juga sangat rentan menjadi korban wabah virus corona [COVID-19]. Mengapa?
Bekas tambang timah atau sedang ditambang pasti mengandung unsur radioaktif alamiah, karena ada beberapa mineral ikutan timah seperti zirkon, monasit, xenotim, ilmenit dan lainnya. Tetapi, sejumlah mineral ikutan tersebut baru mengandung unsur radioaktif berbahaya apabila sudah melewati proses pengolahan dan pemurnian bahan tambang [mineral] untuk memperoleh konsentrat.
“Alhasil, akan menghasilkan produk samping yang dapat menyebabkan terkonsentrasinya radionuklida alam, seperti lumpur dan air tailing,” kata Delita Ega Andini, peneliti yang juga dosen Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [08/4/2020].
Berdasarkan penelitian Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi [BATAN] oleh Syarbainil, Dadong Iskandari, dan Kusdiana pada 2015 dengan judul “Perkiraan Dosis Radiasi yang Diterima Publik di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”, menyatakan bahwa dosis efektif eksternal [outdoor] berkisar dari 0,05 sampai 11,55 mSv [ratarata=1,17 mSv per tahun]. Untuk indoor berkisar dari 0,15 sampai 2,10 mSv [rata-rata=0,69 mSv per tahun].
Dosis efektif internal [indoor] melalui ingesti pangan, air minum dan inhalasi gas radon-toron berturut-turut 0,20 mSv; 0,76 mSv dan 2,32 mSv per tahun sehingga total dosis efektif yang diterima masyarakat Bangka dan Belitung melalui paparan eksternal dan internal per tahun menjadi 5,14 mSv. Ini lebih tinggi dari nilai rata-rata lingkungan latar normal dunia.
Selain dari aktivitas pertambangan, potensi paparan radiasi juga bisa terjadi pada smelter, dimana terjadi proses pengolahan timah yang menghasilkan tailing [pasir sisa pengolahan timah] yang dapat mengakibatkan terlepasnya unsur radioaktif.
Baca: Saat Air Kolong Jadi Andalan Masyarakat Bangka
Pekerja tambang paling rentan terpapar unsur radioaktif. Kolong atau lubang galian timah juga berpotensi menjadi sumber radioaktif. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Hasil pemeriksaan BPK pada 2007, terkait instalasi smelter perusahaan tambang milik negara di Muntok, menyatakan bahwa lokasi tailing di stockyard merupakan tempat terbuka yang memungkinkan adanya paparan radiasi ke lokasi terdekat. Jaraknya sekitar 50 meter dari aktivitas manusia.
“Selain itu, stockyard tempat penyimpanan tailing merupakan tempat terbuka sehingga memungkinkan adanya paparan radiasi ke udara terbuka. Hal ini dimungkinkan mengingat lokasi penyimpanan berada dekat pantai yang memiliki hembusan angin cukup kencang ke arah darat, yang terdapat di permukiman dan perkantoran,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu [08/4/2020].
Munculnya kolong atau lubang bekas galian tambang di Pulau Bangka juga mempunyai potensi sebagai sumber radiasi. “Kalau kolong pasti mempunyai potensi mengandung unsur radioaktif alamiah, tetapi masih dalam jumlah sedikit dan tidak terlalu berbahaya. Hanya saja, perkiraan logam beratnya [Fe] sudah di atas ambang batas. Namun, semua unsur tersebut sangat mungkin berdampak bagi masyarakat. Dampaknya jangka panjang dan dalam waktu lama,” lanjut Delita Ega Andini.
Hidup di lingkungan tambang yang mengandung unsur radioaktif, dapat mengancam kesehatan masyarakat Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Penyakit paru-paru
“Tingkat kandungan radioaktif alamiah di Bangka dan Belitung cukup tinggi, tiga hingga lima kali lebih tinggi dari normal. Potensi pencemaran unsur radioaktif ke lingkungan disebabkan oleh pertambangan timah. Bahan radioaktif tersebut seperti thoron dan radon. Di Amerika, radon adalah sumber alami radiasi dan penyebab kanker paru terbesar kedua,” kata Jessix Amundian.
Hasil analisis penelitian yang berkaitan dengan masalah kesehatan memberikan gambaran bahwa ada kasus kelainan kronik seperti kelainan pernapasan bawah [paru], neoplasma, gangguan kehamilan, dan kelainan janin ada kaitannya dengan faktor risiko paparan radioaktif.
“Zat radioaktif memang bisa memicu mutasi sel, yang pada akhirnya bisa menyebabkan kanker. Radiasi juga bisa melemahkan sistem imun, terutama kalau paparannya tinggi,” kata Sugiyono Saputra, Peneliti Mikrobiologi LIPI, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [09/4/2020].
Berdasarkan buku Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, perkiraan insiden penderita TB Paru, penyakit yang mempunyai gejala mirip dengan kanker paru-paru, mempunyai peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 tercatat 2.277 kasus dan langsung mengalami peningkatan drastis menjadi 7.019 kasus pada tahun 2018.
Baca juga: Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 2]
Sejumlah kapal smelter tampak beraktivitas di bibir pantai Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia.
Terkait wabah virus COVID-19 dengan fakta tingginya paparan radioaktif dan pasien penyakit paru-paru, memungkinkan masyarakat Bangka bisa menjadi korban virus tersebut, jika tidak dilakukan pencegahan penyebaran secara ketat.
Mengutip dari jurnal “Annals of Oncology, Clinical characteristics of COVID-19-infected cancer patients: A retrospective casestudy in three hospitals within Wuhan, China”, pasien yang menderita atau mendapat gejala kanker sangat rentan terhadap patogen pernapasan dan pneumonia berat karena berada dalam keadaan imunosupresif akibat keganasan dan terapi anti-tumor yang dilakukan.
Kondisi dasar paru-paru dan daya tahan tubuh yang buruk, lebih mungkin untuk mengembangkan anoxia yang lebih parah dan berkembang lebih cepat. Ditemukan bahwa dalam 14 hari, terapi anti-tumor secara signifikan terkait dengan kejadian klinis yang parah pada infeksi COVID-19.
Jurnal tersebut juga menyatakan, karakteristik klinis dari 28 pasien kanker positif COVID-19 dari tiga rumah sakit yang ditunjuk di Wuhan, Tiongkok, pada 26 Februari 2020 dijelaskan bahwa 53,6% dari pasien mengalami kejadian parah, 21,4% dirawat di ICU, 35,7% memiliki komplikasi yang mengancam jiwa dan 28,6% pasien meninggal.
“Berbicara kemungkinan ya bisa saja, terkait lingkungan tambang di Bangka, apabila sudah ada kajian terkait dampak radioaktif yang dirasakan masyarakat Bangka. Sebetulnya tidak cuma COVID-19 saja , bisa jadi rentan juga terhadap penyakit lain secara umum,” kata Sugiyono Saputra.
Permukiman penduduk yang terkepung tambang timah di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Dikutip dari Kompas, ternyata vaksin BCG [Bacille Calmette-Guerin] yakni vaksin untuk penyakit paru-paru atau TBC, diperkirakan mampu melindungi pekerja medis dan orang-orang yang rentan terhadap virus COVID-19.
Mengutip dari Japantimes, sebuah studi yang diunggah medRxiv, situs penelitian medis yang tidak dipublikasikan, ditemukan korelasi antara negara-negara yang mengharuskan warga negaranya mendapatkan vaksin BCG menunjukan lebih sedikit jumlah kasus dan kematian akibat virus COVID-19.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.