Dua Permen ESDM Melanggar UU, Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Gugatan ke MA
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil akan mengajukan uji materil Peraturan Menteri ESDM No.05 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ESDM No.6 Tahun 2017 ke Mahkamah Agung (MA) minggu ini.
Seperti diketahui, Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 11 Januari 2017 telah menerbitkan dua Permen ESDM, yaitu Permen ESDM No.5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri, dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeru Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, Ahmad Redi mengatakan kedua permen ini merupakan tindak lanjut diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal, tegas Redi yang juga pakar hukum ini menilai kedua permen tersebut menyimpang dari ketentuan dalam pasal 103 dan Pasal 170 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
"Secara kebijakan, UU Minerba Pasal 102 dan 103 telah menegaskan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral mentah di dalam negeri. Lalu, dalam pasal 170 UU Minerba juga mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tengara (sekarang Amnan Mineral Nusa Tenggara) dan lain-lain untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU Minerba diundangkan, yakni tahun 2014. Namun, pemerintah abai terhadap peraturan yang telah dibuatnya. Untuk, kami yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil akan mengajukan uji materil ke MA pada minggu ini," ujar Redi di Jakarta, Senin (16/1).
Redi mengingatkan masyarakat, bahwa pada 2014, APEMINDO dan perusahaan minerla lainnya pernah mengajukan permohonan pengujian pasal 102 dan 103 UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, putusan MK Nomor 10/PUU-XII/2014 menolak permohonan APEMINDO. Lanjutnya, menurut MK, dalih mengenai PHK besar-besaran jika larangan ekspor berlaku tidak akan terjadi jika perusahaan tambang sedari awal mempunyai komitmen kuat dalam pengolahan dan pemurnian mineral dengan mendirikan smelter atau bekerjasama dengan perusahaan lain yang mempunyai fasilitas tersebut.
"Ada apa danmengapa kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri tidak dapat diimplementasikan? Begitu lemahkah negara ini sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan tersebut? Apakah pemerintah tersandera berbagai kepentingan asing yang merongrong kebijakan hilirisasi? Atau jangan-jangan para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan pun memainkan peran ganda sebagai agen pemerintah sekaligus agen korporasi yang tidak pro kepentingan nasional Indonesia? Seakan begitu banyak masalah, mulai dari law making process, masalah implementasi, sampai dengan kapasitas moral para pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan sasaran kebijakan," ungkapnya.
Sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil telah menghimpun kekuatan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, NGO, Mahasiswa, akademisi, dan cendikiawan bersepakat menolak relaksasi mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
Lebih lanjut, Redi uji materil atas kedua permen tersebut mempertimbangkan, pertama izin ekspor mineral mentah bertentangan dengan konstitusi RI yang memandatkan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Kedua, bertentangan dengan UU Minerba (Pasal 102, Pasal 103, Pasal 170), Putusan MK Nomor 10/PUU-VII/2014, dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.
Ketiga, Izin ekspor memicu eksploitasi sumber daya mineral dan batubara secara besar-besaran dan tidak bertanggungjawab. Terbukti, sejak 2011 hingg 2016 terdapat penambahan izin usaha pertambangan dari 9.662 IUP hingga 10.066 IUP. "Padahal, 3.682 IUP mineral berstatus non clear and clean dan hutan konservasi; 24 persen perusahaan selama 2010-2012 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak; 75 persen-nya tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, juga perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar Rp23 Triliun," tuturnya.
Keempat, pelonggaran ekspor mineral telah memicu eksploitasi sumber daya mineral yang berlebihan yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Degradasi fungsi lingkungan tidak hanya diwariskan oleh kegiatan pertambangan yang tidak berizin, tapi juga berasal dari kegiatan pertambangan berizin, tapi beroperasi di luar kawasaanya.
Kelima, perubahan pengusahaan Kontrak Karya menjadi IUPK menyalahi ketentuan dalam UU Minerba yang mengatur bahwa untuk menjadi IUPK maka perlu ditempuh prosedur kewilayahan usaha yang ketat, yaitu dimulai dengan adanya penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang disetujui oleh DPR RI, kemudian penetapan menjadi WUPK yang diteruskan menjadi WIUPK, setelah itu WIUPK ditawarkan kepada BUMN, dan apabila BUMN tidak berminat maka WIUPK dilelang kepada swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK.
"Selain itu, pemegang KK seperti Freeport yang mengubah bentuk pengusahaan menjadi IUPK tentu akan mendapatkan manfaat tambahan jangka waktu operasi tambang minimal 10 tahun. Padahal, pemerintah harus mulai memikirkan untuk mengembalikan wilayah operasi tambang Freeport yang akan berakhir pada 20e1 kepada negara untuk selanjutnya dikelola oleh segala potensi dalam negeri," paparnya.
Tidak hanya berhentu disitu, kata Redi, pertimbangan berikutnya adalah ketentuan pelonggoran ekspor mineral mentah dan hasil pengolahan serta perubahan KK menjadi IUPK tentu berpotensi memberikan keuntungan bagi sekolompok pihak da merugikan kepentingan bangsa da negara yang lebih besar.
"Bahkan KPK perlu melakukan penyelidikan kemungkinan adanya corruption by law dalam penyusunan Permen ESDM No.5/2017 dan Permen ESDM No.6/2017 khususny mengenai ketentuan pelonggaran ekspor nikel dan bauksit," pungkasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.