Duh! Pembangunan Smelter Freeport Cs Molor, Pemerintah Berpotensi Rugi Triliunan Rupiah
JAKARTA – Lambannya pembangunan smelter yang dilakukan perusahaan tambang berpotensi merugikan pemerintah. Padahal pemerintah telah memberikan rekomendasi ekspor kepada perusahaan tambang tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, Presiden Joko Widodo harus memperhatikan dan menindaklanjuti hasil audit yang sudah dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dampak relaksasi ekspor dan pembangunan smelter dari beberapa perusahaan yang tidak kunjung direalisasikan.
“Ada pelanggaran terhadap UU yang berpotensi merugikan pemerintah, karena ketidaktaatan pada ketentuan yang sudah diatur UU Minerba,” kata Marwan di Jakarta, kemarin.
Dia menyebutkan, berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017 BPK terhadap Freeport misalnya, terjadi potensi kerugian dari penerimaan iuran tetap dan royalti selama tahun 2009-2015 senilai USD445,96 juta (Rp5,8 triliun).
Seharusnya Freeport sudah menyesuaikan ketentuan tarif sesuai dengan Pasal 169 UU Nomor 4 Tahun 2009 paling lambat 1 tahun. Namun, baru disesuaikan pada 2014 melalui MoU tanggal 25 Juli 2014.
Menurut Marwan, Freeport juga wajib membangun smelter paling lambat lima tahun sejak UU Minerba berlaku atau paling lambat Januari 2014. Namun, smelter tersebut tidak kunjung terealisasi.
Perusahaan tersebut bahkan bisa mengekspor konsentrat karena mendapat rekomendasi ekspor. Freeport juga disebut melakukan ekspor konsentrat selama kurun waktu embargo periode Januari-Juli 2014. BPK menyebutkan, Freeport mengirim konsentrat sebanyak tujuh invoice dengan berat 10.122,186 ton.
Pengamat kebijakan publik, Aryanto Nugroho mengatakan, UU Minerba sudah mewajibkan perusahaan tambang di Indonesia tidak diperbolehkan mengekspor mineral mentah dan konsentrat. Untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, maka dikeluarkan kebijakan kewajiban pembangunan smelter.
Namun, berbagai aturan pelonggaran ekspor yang diberikan kepada korporasi swasta pada akhirnya merugikan kepentingan nasional. “Perusahaan tidak boleh ada lagi ekspor mineral mentah dan konsentrat, bahwa perusahaan tambang harus membangun smelter. Itu yang diwajibkan oleh UU atau sebaliknya pemerintah menanggung potensi kerugian tersebut,” ujarnya.
Pengamat pertambangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi menambahkan, pembangunan smelter khususnya di pelosok daerah di Kawasan Indonesia Timur sangat diperlukan. Karena akan memberikan multiplier effects atau dampak positif besar bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
“Bagi pemerintah daerah kehadiran smelter ini akan meningkatkan PDRB secara signifikan,” kata Fahmi.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.