ESDM: Proyek Smelter Banyak Molor, UU Minerba Perlu Direvisi
Jakarta -Kementerian ESDM menyatakan, Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) perlu segera direvisi. Salah satu alasannya, karena banyak sekali perusahaan tambang yang tak bisa menyelesaikan pembangunan smelter sebelum 2017.
Bila UU Minerba tak direvisi, perusahaan-perusahaan yang belum memiliki smelter pada 2017 dipastikan kolaps, karena tak bisa melakukan ekspor lagi, operasinya pasti terganggu, para pekerjanya pun terpaksa di-PHK.
"Saya ingin menangapi berita yang beredar. Sekarang saya sekarang sedang menyiapkan revisi UU Minerba. Kenapa diubah? Ada beberapa hal yang harus dievaluasi yang kita lihat belum berhasil. Seperti smelter, kita juga evaluasi, pemohon (pembuat smelter) masih jauh dari progres," ujar Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Tapi itu bukan satu-satunya alasan di balik keinginan Kementerian ESDM merombak UU Minerba. Gatot mengatakan, poin penting lain yang perlu direvisi adalah soal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam perizinan pertambangan. "Ini saat erat sekali dengan UU Otonomi Daerah. Sebab itu, kita evaluasi," ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta revisi atas UU Minerba ditunda hingga smelter-smelter selesai dibangun dan mulai beroperasi.
"Sebaiknya tunggu smelter-smelter yang sekarang sedang dibangun beroperasi, baru kita tinjau lagi UU Minerba," kata Dirjen Industri Logam, Mesin, dan Alat Transportasi Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan.
Putu khawatir, revisi UU Minerba membuka kembali keran ekspor mineral mentah. Bila ekspor barang tambang mentah sampai dibuka lagi, hilirisasi mineral di dalam negeri akan terganggu, dan tentu tidak adil bagi perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah susah payah menggelontorkan banyak uang untuk membangun smelter.
Selain itu, smelter-smelter yang sudah dibangun bisa kekurangan pasokan bahan baku akibat ekspor mineral mentah diizinkan lagi. Kalau itu terjadi, tentu perusahaan yang sudah membangun smelter bakal rugi besar.
"Yang memiliki izin pertambangan tentu berpikir, masih bisa ekspor, nggak harus jual ke yang bikin smelter, itu yang bahaya. Bisa-bisa yang sudah bangun smelter tidak mendapat kepastian bahan baku," tutupnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.