Ekspor Februari Anjlok 10,03% Terseret Pelemahan Harga Komoditas
' />
Kejatuhan harga komoditas menekan kinerja ekspor sepanjang Februari 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor Februari sebesar US$ 12,53 miliar, turun 10,03% dibandingkan Januari 2019 dan 11,33% dibandingkan Februari 2018.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan sejumlah komoditas pertambangan dan pertanian mengalami pelemahan sehingga mempengaruhi ekspor. "Harga komoditas yang turun tajam adalah batu bara, biji tembaga, lignit, dan biji besi," kata dia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (15/3).
Ia mencatat, harga batu bara pada Januari-Februari turun US$ 96,6 menjadi US$ 95,24 per metrik ton, turut memengaruhi ekspor pertambangan. Secara rinci, ekspor sektor pertambangan dan lainnya mengalami penurunan paling tajam, yaitu turun 18,76% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 1,80 miliar.
Sementara jika dibandingkan periode sama tahun lalu, ekspor pertambangan turun 20,80%. Berdasarkan struktur ekspor, sektor pertambangan memberikan andil terbesar kedua, yaitu 14,33%. Di sisi lain, ekspor pertanian juga mengalami penurunan 17,4% dibandingkan Januari lalu menjadi US$ 230 juta. Sektor ini mengalami penurunan 0,76% bila dibandingkan periode sama tahun lalu.
Suhariyanto menyebutkan penurunan ekspor terjadi pada komoditas buah-buahan, kopi, hasil bukan hutan lainnya, cengkeh, tembakau dan biji kakao. (Baca: Ekonomi Global Masih Lesu, Mendag Targetkan Ekspor Tumbuh 7,5%) Kemudian, ekspor industri pengolahan mencapai US$ 9,41 miliar atau turun 7,71% dibandingkan Januari lalu dan turun 8,06% dibandingkan Februari 2018. Sedangkan, migas mencapai US$ 1,09 miliar atau turun 11,85% dibandingkan bulan lalu dan turun 21,75% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Berdasarkan negara tujuan, BPS juga melaporkan penurunan ekspor ke sejumlah mitra dagang utama. Ekspor ke Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan paling tajam sebesar US$ 238,7 juta dibandingkan Januari 2019, diikuti oleh penunan ekspor ke Tiongkok turun US$ 191,1 juta serta Jepang turun US$ 162,3 juta dibandingkan Januari lalu. Di sisi lain, peningkatan ekspor pada Februari 2019 dicatat Malaysia sebesar US$ 84,8 juta, Hongkong US$ 68,2 juta, dan Kazakhstan US$ 50,6 juta dibandingkan Januari 2019.
Suhariyanto mengatakan penurunan ekspor ke beberapa negara tujuan utama terpengaruh oleh ketidakpastian situasi ekonomi global. Hal ini juga sesuai dengan prediksi lembaga internasional, Bank Dunia yang mengubah prediksi laju ekonomi global dari 3% menjadi 2,9%. Demikian pula, prediksi pertumbuhan ekonomi AS yang semula diperkirakan sebesar 2,9%, kini tepangkas menjadi 2,5%. "Ekonomi global 2019 suasananya agak gloomy, tidak terlalu menggembirakan," ujarnya.
Kondisi perekonomian dunia yang masih diliputi ketidakpastian juga turut menjadikan pemerintah belum berani menargetkan pertumbuhan ekspor di atas 10%. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan target pertumbuhan ekspor non-migas tahun ini ditetapkan sebesar US$ 175 miliar, meningkat 7,5% dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar US$ 162,8 miliar.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.