Ekspor Mineral Mentah Dibuka, Kemenperin: Rugikan Investor Smelter
Jakarta - Pasca berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) per 11 Januari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 (Permen ESDM 5/2017), dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 (Permen ESDM 6/2017).
Auran-aturan baru ini membuka kembali keran ekspor beberapa komoditas mineral mentah (ore) yang sebelumnya ditutup pada 11 Januari 2014.
Permen ESDM 5/2017 membuka peluang ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7% (kadar rendah) dan bauksit yang telah dicuci (washed bauxite) dengan kadar A12O3 lebih dari 42% yang tidak terserap oleh smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral) di dalam negeri.
Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut merugikan para investor yang sudah membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel dan bauksit. Banyak investor yang jadi ragu untuk melanjutkan pembangunan smelter.
"Beberapa perusahaan (smelter) menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam pendanaannya. Yang mendanai menyampaikan keraguan-raguan terhadap konsistensi pada kebijakan itu," kata Putu dalam Halal Bihalal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) di JS Luwansa, Jakarta, Jumat (21/7/2017).
Pembukaan kembali ekspor bijih nikel dan bauksit membingungkan investor, dipandang tidak sesuai dengan visi pemerintah yang sudah tertuang dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yaitu hilirisasi mineral di dalam negeri.
Kebijakan hilirisasi mineral yang tidak konsisten membuat kepercayaan investor goyah. "Orang sudah investasi, menimbulkan ketidakpastian. Akhirnya kita mengorbankan kepercayaan investor," ucapnya.
Putu menyebut Indoferro di Cilegon sebagai contoh perusahaan yang dirugikan oleh pembukaan ekspor bijih nikel kadar rendah. Indoferro sudah mem-PHK 600 pekerja smelternya karena harga nikel di pasar dunia jatuh setelah pemerintah membuka ekspor bijih nikel.
"Indoferro kami dapat laporan dari Cilegon kemarin, mereka akan memberhentikan 600 orang. Separuhnya akan di-PHK. Mereka mempertahankan separuhnya agar kalau ada yang mengambil alih tinggal dijalankan," tuturnya.
Memang bukan hanya kebijakan pemerintah saja yang membuat smelter-smelter nikel di dalam negeri merugi. Ada faktor-faktor lain seperti kondisi perekonomian global yang sedang lesu dan masalah internal perusahaan.
"Ada 3 hal yang memengaruhi, yaitu kondisi ekonomi global, kebijakan pemerintah, dan masalah internal di perusahaan. Perekonomian global juga sedang sulit," papar Putu.
Anjloknya harga minyak berdampak besar pada harga nikel. Sebab, permintaan stainless steel (bahan baku utama stainless steel adalah nikel) terbesar datang dari sektor hulu migas. Ketika industri hulu migas lesu, permintaan nikel jadi merosot, harganya pun turun.
"Aplikasi terbesar stainless steel di migas, 50-60% stainless steel penggunaannya di migas. Otomatis ikut turun," tutupnya. (mca/dna)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.