Ekspor Mineral Mentah Kembali Dibuka, Pengusaha Smelter Merasa Dirugikan
Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan ini membuka peluang bagi perusahaan tambang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk mengekspor mineral mentah jenis tertentu dan konsentrat (mineral yang telah diolah tapi belum sampai tahap pemurnian).
Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) meminta pemerintah menghentikan izin ekspor mineral mentah dan konsentrat. Menurut AP3I, aturan baru ini melanggar Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mendorong hilirisasi di dalam negeri.
Harusnya pemerintah konsisten dengan pelarangan ekspor mineral mentah. Dengan adanya PP No 1/2017 ini, pengusaha yang telah membangun smelter merasa dikecewakan karena tidak ada kepastian hukum akibat seringnya pemerintah mengubah kebijakan.
"Kita harus berkomitmen, kalau sudah ada UU Minerba itu dijalani saja. Sekarang UU Minerba kan belum diapa-apain, masih utuh. Jadi kami keberatan. Ini yang dihancurkan selain nama Indonesia dan nama Presiden Jokowi karena sering bilang dia tidak suka ekspor mineral mentah," kata Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo, saat dihubungi detikfinance, Selasa (31/1/2017).
Selain itu, diizinkannya ekspor dalam bentuk mentah ini membuat harga jual produk nikel yang telah dimurnikan atau Nikel Pig Iron jatuh. Sebab, mineral mentah yang dieskpor menambah pasokan dunia, sehingga menyebabkan harga nikel melemah.
Ia mengatakan, sebelum adanya PP nomor 1/2017 sekitar bulan November 2016 harga nikel di London Metal Exchange (LME) US$ 11.700/ton. Akan tetapi setelah dikeluarkannya PP 1/2017 harga nikel dunia turun hingga menjadi US$ 9.000/ ton.
"Gonjang-ganjing hiruk pikuk di Indonesia sudah langsung berpengaruh ke harga dunia. Hiruk pikuk itu menunjukan mau ekspor lagi tanah (mentah), tanah ini dibeli oleh Cina dan Jepang, dia yang untung dan kita yang rugi. Pemerintah itu dapat royalti dari harga tanah yang murah," ujarnya.
Oleh karena itu, dia berharap agar pemerintah tidak lagi mengizinkan ekspor dalam bentuk mentah. Jonatan meminta ekspor harus sudah dimurnikan karena menyebabkan harga nikel yang telah dimurnikan turun sehingga merugikan perusahaan yang telah menanamkan modalnya di Indonesia, ini bisa berdampak pada minat investor lain untuk membangun smelter
"Ini saya rugi dengan harga yang turun sekarang. Semua (investor) tidak ada yang mau investasi lagi, pasti takut sama Indonesia ternyata negaranya tidak komit dengan UU. Regulasi yang ada dilanggar," tutupnya. (mca/mca)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.