Ekspor nikel distop Jonan, Antam bisa kehilangan Rp 2 triliun
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Antam Tbk (ANTM, anggota indeks Kompas100 ini) bakal mendukung setiap kebijakan pemerintah soal hilirisasi mineral. Termasuk, yang terbaru akan mempercepat penyetopan ekspor ore nikel dari tahun 2022 menjadi tahun ini.
Arie Prabowo Ariotedjo Direktur Utama Antam mengungkapkan, dengan adanya penyetopan itu tidak akan berdampak kepada pembangunan smelter feronikel Antam."Kalau di stop kita patuh saja dengan regulasi," kata dia kepada Kontan.co.id, kemarin.
Meski demikian, Arie menerangkan bahwa jika ada penyetopan ekspor ore nikel maka Antam akan kehilangan potensi pendaparan dari komoditas itu meskipun tidak terlalu signifikan.
"Misal saja dalam setahun ada 4 juta ton (ekspor) sekitar US$ 150 juta pertahun kasarnya Rp 2 triliun. Target revenue kami kan bisa Rp 30 triliun. Jadi secara revenue untuk 1 tahun turun 7% lah," kata Arie.
Meski diprediksi akan turun, Arie mengatakan bahwa akan ada kompensasi dari kenaikan harga emas sehingga potensi Rp 2 triliun yang hilang itu bisa ditutupi. "Tapi akan kita kompensasi dengan peningkatan penjualan emas dan bauksit," ujarnya.
Ia memandang, pemerintah mesti memiliki pertambangan lain yang lebih memberi keuntungan bagi bangsa dan negara. Antam sebagai perusahaan negara harus mendukung bagi peningkatan nilai tambah bagi bangsa dan negara.
Arie bilang, dengan issue stop ekspor ore nikel maka harga nikel akan naik. Maka perusahaan smelter akan tercetak untuk lebih besar dan akan kontribusi lebih banyak lagi ke negara dalam bentuk pajak.
"Selain itu terjadi konservasi terhadap cadangan nikel yang ada di bumi," imbuhnya.Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin bilang, pihaknya sudah diajak berdialog dengan pemerintah dalam rencana penerbitan aturan baru untuk mempercepat penyetopan ekspor bijih nikel itu.
Hanya saja ia enggan membeberkan isi dari aturan yang pernah dibicarakan. "Iya sedang dibuat aturan. Poinnya revisi, stop ekspor," terangnya kepada KONTAN.
Baginya, pemerintah harus konsisten dengan PP 01/2019, bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Sebab ia takut, jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.
Seperti misalnya, akan ada banyak tambang nikel yang tutup karena tidak bisa diekspor, berimbas pada harga yang tidak balancing. "Harga ekspor dan harga lokal kan mati. Nanti terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup," terangnya.
Terlebih lagi, banyak yang tengah mengembangkan smelter, namun tidak ada pemasukan dana melalui penjualan bijih nikel yang diekspor. Alhasil, pembangunannya mangkrak.
Seperti diketahui, pengaturan dan pelarangan ekspor mineral mentah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba. Pasal 103 ayat (1) dalam beleid tersebut mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Lebih lanjut, pada Pasal 170 disebutkan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan.
Namun, pemerintah melakukan relaksasi, dan mengizinkan ekspor mineral mentah. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 tahun 2017 yang diterbitkan pada 11 Januari 2017.Dalam beleid tersebut, nikel dengan kadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari satu atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.
Dengan relaksasi tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengklaim, hingga saat ini belum ada perubahan sehingga peraturan yang lama masih tetap berlaku.
Bambang pun mengaku tidak tahu apakah akan ada perubahan, baik dari percepatan jadwal penutupan ekspor ore nikel maupun spesifikasi dari kadar ore yang boleh diekspor.
"Saya tidak mau berandai-andai, nanti kalau memang keluar peraturannya, baru bisa comment. Prinsipnya sebelum ada aturan baru, yang lama tetap berlaku," katanya beberapa waktu lalu.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.