Bisnis.com, JAKARTA - Fundamental timah diyakini belum dapat mendukung harga timah hingga 2020 seiring dengan produksi yang akan meningkat sehingga memangkas defisit pasokan global.
Mengutip laporan Asosiasi Timah Internasional, produksi timah diprediksi naik 5,8% menjadi 352.000 ton pada tahun depan, sedangkan permintaan hanya akan naik tipis 0,4% menjadi 353.900 ton.
Oleh karena itu, defisit global diperkirakan turun menjadi 1.900 ton pada 2020 dari defisit tahun ini sebesar 20.000 ton dan dinilai akan semakin membebani harga.
Manajer Intelijen Pasar Asosiasi Timah Internasional James Willoughby mengatakan bahwa baik produksi tambang maupun peleburan timah diperkirakan meningkat tahun depan, terutama di produsen terbesar dunia China dan Indonesia.
“Sudah cukup banyak kapasitas produksi di kedua pasar ini dan akan meningkat selama beberapa tahun ke depan. Kenaikan ini diperkirakan dapat mencapai sekitar 80.000 ton," ujar James seperti dikutip dari Reuters, Selasa (3/12/2019).
Kedua produsen teratas dunia, Yunnan Tin China dan PT Timah Indonesia, diperkirakan meningkatkan kapasitas produksi walaupun kemungkinan juga ada konsolidasi karena banyak pabrik peleburan kecil beroperasi dengan kapasitas kurang dari 50%.
Di sisi permintaan, proyeksi lebih cerah pada 2020 setelah penurunan tajam dalam penjualan semikonduktor tahun ini, walaupun masih belum cukup membantu harga timah.
James cukup optimistis terhadap pasar solder China tahun depan seiring dengan penggunaan timah terbesar, hampir setengah dari permintaan, adalah untuk solder yang terutama digunakan dalam industri elektronik untuk menghubungkan komponen.
Pemimpin Tim Teknologi Asosiasi Timah Internasional Jeremy Pearce mengatakan bahwa revolusi industri keempat akan memicu ledakan elektronik baru yang dibutuhkan untuk robot dan kecerdasan buatan pada pertengahan hingga akhir 2020.
"Timah adalah lem yang akan menyatukan semua ini, sehingga permintaan akan cenderung membaik walaupun tidak sebesar yang diharapkan pasar," kata Pearce.
Adapun, berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun berjalan 2019 timah telah menjadi logam dasar dengan performa terburuk di bursa London. Secara year to date, timah telah terdepresiasi 15,33%. Pada penutupan perdagangan Senin (2/12/2019) harga berada di level US$16.490 per ton, melemah tipis 0,03%.
Seperti yang diketahui, pada perdagangan awal tahun timah berada di level tertinggi karena keterbatasan pasokan Indonesia. Namun, ketika bottleneck ini dibuka sekitar April dan pada Agustus terdapat dua bursa yang memperdagangkan timah di Indonesia bersamaan dengan permintaan yang menurun, harga jatuh ke posisi terendah dalam tiga tahun.
James melihat harga tidak mungkin naik dengan cepat sehingga pada 2020 masih akan berada dalam tekanan. Apalagi ketika kapasitas smelter timah di China dan Indonesia meningkat.
Di sisi lain, Sam Grant, analis untuk CRU Group, mengatakan bahwa terlepas dari nikel, mayoritas harga logam di bursa LME tidak akan menuju ke pembalikan arah dengan cepat. Ini diakibatkan menurunnya produksi industri global dan sektor otomotif yang buruk.
"Namun, di masa depan, transisi kendaraan listrik dalam waktu dekat akan menguntungkan semua logam dasar, terutama timah," papar Sam.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.