Untuk menekan impor produk hasil tambang, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) terus memacu sejumlah proyek hilirisasi. Holding industri pertambangan itu pun melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk merealisasikan proyek-proyek hilirisasi besar senilai lebih dari USD 10 miliar atau sekitar Rp 152 triliun.
"Beberapa kerja sama dengan BUMN dan swasta telah ditandatangani dan siap berjalan. Sejumlah proyek hilirisasi yang tengah dan sudah bergulir di antaranya di segmen alumunium, bauksit, dan batu bara," ujar Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin kemarin (28/10).
Dia mengungkapkan, beberapa proyek besar tersebut untuk memberikan nilai tambah sektor tambang dan mendukung penghematan devisa negara. Seperti head of agreement Inalum dan PT Antam Tbk dengan produsen alumina terbesar kedua di dunia, Alumunium Corporation of China Limited (Chalco) senilai USD 850 juta.
Rencananya, Inalum, Antam, dan Chalco akan membangun pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) untuk memproses bauksit menjadi alumina yang merupakan bahan baku utama pembuatan aluminium ingot. Pabrik tersebut rencananya dibangun di Mempawah, Kalimantan Barat, dengan total kapasitas produksi 2 juta metrik ton per tahun.
Pembangunan proyek tersebut dilakukan dalam 2 tahap dan ditargetkan mulai berproduksi pada 2021. "Inalum sendiri merupakan produsen alumunium ingot satu-satunya di Indonesia,'' imbuhnya. Terealisasinya proyek tersebut diperkirakan bisa menghemat devisa USD 600 juta per tahun.
Selama ini, Indonesia masih kekurangan pasokan alumunium ingot sehingga harus impor. Inalum sendiri dalam proses pendirian pabrik alumunium primer dengan kapasitas 500 kiloton per tahun beserta pembangkit listrik tenaga air dengan memanfaatkan sungai Kayan senilai USD 6 miliar. "Ekspansi tersebut diharapkan dimulai tahun depan," ujarnya.
Anggota holding tambang lainnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) berkolaborasi dengan PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia, dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk untuk mengonversi batu bara muda menjadi syngas. Itu merupakan bahan baku untuk diproses menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan polypropylene sebagai bahan baku plastik. Pabrik pengolahan gasifikasi batu bara sendiri direncanakan beroperasi pada November 2022.
Produksi tersebut ditargetkan bisa memenuhi pasar 500 ribu per tahun, 400 ribu ton DME per tahun, dan 450 ribu ton polypropylene per tahun. Proyek tersebut diperkirakan membutuhkan batu bara sebagai bahan baku sebanyak 9 juta ton per tahun termasuk untuk pembangkit listrik. Nilai keseluruhan proyek tersebut diperkirakan lebih dari USD 3 miliar.
Holding tambang menjadi salah satu tulang punggung negara dalam mendulang devisa dari hasil ekspor dan mengurangi ketergantungan bahan baku dari impor. Penjualan ekspor holding tambang diperkirakan mencapai USD 2,51 miliar atau sekitar Rp 37 triliun hingga akhir 2018. Adapun hingga Agustus 2018, telah terealisasi USD 1,57 miliar atau 62,5 persen dari proyeksi.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.