iapa bilang Indonesia tidak bisa menjadi negara maju? Bangsa Indonesia punya banyak “tiket” untuk menjadi negara maju. Salah satu “tiket” itu adalah cadangan mineral yang melimpah, dari mulai bijih nikel, timah, alumunium, tembaga, perak, hingga emas.
Sayangnya, selama beberapa dekade, komoditas mineral tidak diolah di dalam negeri, melainkan diekspor secara gelondongan dalam bentuk bahan mentah, atau paling banter berupa produk setengah jadi. Alhasil, Indonesia hanya menikmati nilai tambah yang minim dari tambang mineral tersebut. Padahal, jika diolah terlebih dahulu di dalam negeri atau dilakukan hilirisasi, Indonesia bisa menikmati nilai tambah yang amat tinggi. Sebagai contoh, setelah bijih (ore) nikel diolah menjadi produk hilir (nikel dan turunannya), harganya bisa melonjak sampai 50 kali lipat di pasar ekspor.
Keberadaan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral di dalam negeri tentu menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect) yang amat besar bagi perekonomian nasional. Smelter-smelter itu akan melahirkan berbagai industri ikutan. Para investor akan berbondong-bondong masuk untuk berinvestasi dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi mereka.
Akibatnya, penenerimaan negara dari pajak bakal meningkat. Begitu pula penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dengan demikian, APBN punya kemampuan lebih besar untuk membiayai program-program pembangunan. Tenaga kerja akan banyak terserap oleh pabrik-pabrik pengolahan mineral. Angka pengangguran dan kemiskinan turun signifikan. Rakyat bakal sejahtera.
Dengan melakukan hilirisasi, Indonesia juga akan memiliki industri manufaktur yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Dengan memiliki industri manufaktur yang tangguh, harkat, dan martabat kita sebagai bangsa bakal naik berlipat ganda karena kita memiliki brand manufaktur yang kuat.
Larangan Ekspor Menilik besarnya manfaat hilirisasi, seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) harus punya pemahaman yang sama bahwa hilirisasi adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Patut disyukuri, pemerintahan Jokowi memiliki komitmen yang tinggi untuk menjalankan program hilirisasi tambang mineral, walau dalam perjalanannya sering maju mundur. Komitmen pemerintah antara lain ditunjukkan dengan mempercepat larangan ekspor bijih nikel atau nikel berkadar kurang dari 1,7% oleh perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi.
Larangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Beleid yang ditetapkan pada 28 Agustus 2019 dan berlaku mulai 1 Januari 2020 itu merupakan perubahan dari aturan sebelumnya yang mengamanatkan pelarangan ekspor nikel mulai awal Januari 2022. Berarti, pemerintah memajukan larangan ekspor dua tahun labih cepat.
Selain melarang ekspor bijih nikel, Permen ESDM 11/2019 juga membatasi ekspor bauksit. Perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi hanya boleh mengekspor bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari atau sama dengan 42% jika telah memiliki atau sedang membangun fasilitas pemurnian dan membayar bea keluar (BK).
Investasi Rp 91 Triliun Jauh sebelum Permen ESDM 11/2019 diterbitkan, pemerintah sudah menyosialisasikan dan mengundang investor dari berbagai negara untuk berinvestasi di sektor hilir nikel, baja nirkarat (stainless steel dan carbon steel), serta baterai. Undangan pemerintah Indonesia disambut baik para investor asing. Saat ini, 11 smelter sudah terbangun dan 25 smelter lainnya dalam proses pembangunan.
Di Kawasan Industri Morowali, misalnya, investor kelas dunia asal Tiongkok Tsingshan Group, pelopor industri baja nirkarat dan menduduki ranking ke-361 pada Fortune Global 500, membangun berbagai industri pengolahan nikel untuk dijadikan stainless steel dan carbon steel yang kelak berujung pada industri energi terbarukan; baterai litium.
Semuanya menggunakan teknologi terbaru dan modern. Total investasi ditargetkan mencapai US$ 8 miliar hingga US$ 9 miliar. Yang sudah terealisasi saat ini sekitar US$ 6,1 miliar atau setara Rp 91 triliun!
Demikian pula di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tak jauh beda dengan Morowali, investor Tiongkok melalui PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) membangun smelter di atas lahan 500 hektare dengan nilai investasi US$ 860 juta atau sekitar Rp 12,8 triliun.
Sementara itu, PT Obsidian Stainless Steel (OSS) membangun industri stainless steel dengan total investasi US$ 2 miliar, atau Rp 29,8 triliun. Total investasi di Konawe mencapai US$ 2,86 miliar atau sekitar Rp 42,6 triliun. Yang dibangun juga sama, yakni hilirisasi nikel yang berujung pada baterai litium.
Hasilnya? Sampai 2019, total ekspor besi baja Indonesia mencapai US$ 7,2 miliar, padahal pada 2014 hanya US$ 1,1 miliar. Sebuah peningkatan yang luar biasa, baik dari segi nilai maupun persentase.
Pengembangan industri berbasis mineral logam yang terdiri atas industri besi baja, aluminium, nikel, dan tembaga, amat penting. Sebab, komoditas tersebut digunakan secara luas di dunia, antara lain untuk kebutuhan di dermaga, kapal laut, landasan bandara, jembatan antarpulau, rel kereta api, pipa bawah laut, jalan tol, jaringan listrik, telekomunikasi, hingga industri untuk keperluan rumah tangga dan energi terbarukan.
Hilirisasi nikel merupakan salah satu peluang untuk mentransformasi ekonomi nasional, sekaligus sebagai tiket untuk menjadi negara maju. Mengapa? Karena, pertama, Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Sekitar 32,7% cadangan bijih nikel global ada di Indonesia, yaitu sebanyak 21 miliar ton.
Kedua, nikel digunakan secara luas di berbagai industri, termasuk industri pertahanan. Selain untuk stainless steel, nikel juga merupakan bahan utama baterai litium yang merupakan komponen utama mobil listrik. Hampir seluruh peralatan elektronik memerlukan baterai.
Maka, sudah sewajarnya Indonesia memiliki smelter dan industri hilir, agar bijih nikel dapat diolah dan menghasilkan nilai tambah tinggi terhadap perekonomian nasional, baik untuk kepentingan ekspor maupun pasar domestik.
Harus Dipaksa Agar sukses dan mencapai hasil optimal, hilirisasi mineral tidak boleh dilakukan setengah-setengah dan maju mundur. Bahkan, program hilirisasi harus dipaksakan kepada perusahaan-perusahaan tambang dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
Pemerintah tidak boleh kendur, gamang, apalagi takut untuk menjalankan program hilirisasi. Pemerintah harus siap menghadapi perlawanan dari mana pun, baik dari perusahaan-perusahaan multinasional, maupun dari negara-negara yang merasa dirugikan, termasuk dari Uni Eropa yang tengah memperkarakan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), gara-gara larangan ekspor bijih nikel.
Hilirisasi di tambang nikel seharusnya juga diterapkan di industri pertambangan yang lain, seperti emas dan tembaga. Hingga saat ini, Feeport-McMoRan yang sudah 55 tahun beroperasi di Timikia, Papua, masih menggali dan memproses tumpukan tanah maupun pasir yang mengandung mineral di smelter luar negeri, di antaranya Australia dan Eropa. Hingga kini tak satu pun smelter dibangun oleh investor asal Amerika Serikat (AS) tersebut. Akibatnya, Indonesia tidak memperoleh nilai tambah yang maksimal.
Bila bijih tembaga dan emas yang dihasilkan Freeport diolah di smelter dalam negeri, produk apa saja yang dihasilkan perusahaan tambang paling berpengaruh di dunia itu bakal ketahuan. Emasnya berapa juta ton, tembaga berapa juta ton, semua akan terungkap. Bahkan, rumors yang berkembang selama ini bahwa di tambang Freeport ada uranium, bisa dibuktikan benar atau tidaknya.
“Global Value Chains” Selain itu, pemrosesan hasil tambang di smelter dalam negeri akan mempercepat proses pengembangan industri baterai litium di tiga kawasan industri, yaitu Morowali, Konawe, dan Weda Halmahera. Itu karena asam sulfat yang dihasilkan dari tambang tersebut dapat dimanfaatkan industri baterai litium.
Jika industri baterai litium sudah berproduksi dan pada 2024 negara-negara Eropa sudah mewajibkan penggunaan kendaraan berbasisis listrik, Indonesia akan menjadi pemasok utama baterai mobil (battery electric vehicle/BEV) di dunia.
Dengan demikian, Indonesia masuk menjadi bagian global value chains, yaitu sebuah proses pembentukan nilai tambah atas suatu barang yang melibatkan tiga hal, yakni proses produksi barang secara bertahap, melibatkan dua negara atau lebih dalam memberikan nilai tambah, serta terjadi proses ekspor dan impor barang setengah jadi untuk proses produksi selanjutnya.
Tentu saja ini tugas yang berat. Namun, jika memang pemerintah ingin mewujudkan transformasi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mendorong Indonesia menjadi negara maju, tugas ini harus dilaksanakan. Kementerian yang paling bertanggung jawab mengemban tugas ini adalah Luhut Binsan Pandjaitan selaku menko maritim dan investasi.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.