Hilirisasi Industri Mineral Mentah Tersesat Di Persimpangan Jalan
SEMANGAT UU Minerba yang salah satu butirnya memuat kewajiban membangun smelter ternyata bertolak belakang dengan produk hukum yang diterbitkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan. Ini terbukti karena Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) justru lebih memudahkan ekspor mineral logam yang belum diolah smelter. Sehingga tujuan utama yakni agar adanya peningkatan nilai tambah di dalam negeri menjadi bias dan melenceng dari pesan UU Minerba.
Di sisi lain, Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa era menjual sumber daya alam sudah saatnya dihentikan. Jokowi mengajak pentingnya mengubah paradigma bahwa sumber daya alam termasuk Minerba harus diolah terlebih dulu guna meningkatkan nilai tambah yang berdampak langsung pada rakyat. Penegasan Jokowi tersebut juga sejalan dengan data yang dirilis Pusdatin Kementerian ESDM pada 2012, yang menyebut adanya 10,23 kali lipat bauksit bila diolah menjadi alumina. Sedangkan jika alumina diolah menjadi alumunium, maka nilai tambahnya bisa mencapai 139 kali lipat dibandingkan harga jual bijih bauksit. Selain itu, berdasarkan penelitian LPEM Universitas Indonesia tahun 2016 membuktikan bahwa pembangunan smelter di Kalimatan Barat dari 10 pekerja dapat menciptakan kesempatan kerja bagi 19 orang.
Namun faktanya, sikap Presiden berbanding terbalik dengan kebijakan yang dilakukan pembantunya, khususnya di Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Maka sangat wajar apabila publik bertanya-tanya, apakah ada kesepakatan gelap di antara oknum DPR dan oknum pemerintah sehingga kebijakan obral ekspor mineral mentah terkesan didiamkan kalangan parlemen?
Padahal, pada rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, diketahui kesimpulan rapatnya dengan tegas menyatakan melarang Ditjen Minerba memberikan rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia dan PT Petrokimia Gresik setelah tanggal 12 Januari 2017. DPR bersikeras bahwa relaksasi yang telah diberikan sebelumnya sudah lebih dari cukup.
Namun, dengan diterbitkannya kembali PP No 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 5, 6 dan 28 Tahun 2017, kebijakan obral ekspor mineral logam yang belum diolah di smelter dalam negeri pun kembali memasuki babak baru. Setali tiga uang, Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu ) terkait bea tarif ekspor mineral dari waktu ke waktu sudah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Terakhir adalah Permenkeu No 13/PMK.010/2017 tanggal 9 Febuari 2017, yang menghilangkan kewajiban menempatkan jaminan kesungguhan membangun smelter. Padahal dalam aturan sebelumnya, terdapat syarat proses kemajuan pembangunan smelter yang diberi bobot sebagai dasar penentuan tarif bea keluar.
Anehnya, jika bea tarif ekspor ternak saja dikenakan tarif 25 persen, sementara untuk mineral logam yang belum diolah, hanya dikenakan tarif 7,5 persen dan 10 persen. Seharusnya perlakuan tarifnya berbeda, yang lazimnya untuk mineral logam 25 persen dan ternak 10 persen. Bahkan kalau melihat tabel lampiran Permenkeu No 153 Tahun 2014, untuk mineral seharusnya sudah dikenakan bea tarif 50 persen dan 60 persen sejak tahun 2016.
Semakin aneh bila kita mencermati rekomendasi ekspor mineral yang telah diterbitkan Ditjen Minerba baru baru ini terhadap beberapa perusahaan diduga bermasalah. Antara lain rekomendasi tertanggal 3 Juli 2019 terhadap PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebanyak 2,4 juta metric ton (mtn) bijih bauksit dan PT Ceria Nugraha Indotama sebanyak 2,3 juta mtn bijih nikel di bawah kadar Ni 1,7 persen. Pemberian rekomendasi tersebut oleh salah satu pejabat Ditjen Minerba diberikan lantaran kedua perusahaan tersebut berkomitmen membangun smelter dengan masing-masing kapasitas 5 juta dan 7 juta ton per tahunnya.
Pertanyaannya, apa jaminan kedua perusahaan tersebut akan betul-betul membangun smelter? Kalau di kemudian hari, memutuskan batal membangun smelter atas kajian mereka sendiri tetapi sudah terlanjur menikmati hasil keuntungan ekspor mineral, lantas apakah pejabat yang memberikan rekomendasi sudah siap bertanggungjawab secara hukum?
Protes Keras dan Kewenangan Kemendag
Dengan karut-marutnya tata kelola ekspor mineral mentah saat ini, adalah hal wajar apabila Asosiasi Pengusaha Pengolahaan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) melakukan protes keras. Pasalnya, di saat sejumlah perusahaan berkomitmen membangun smelter sebagai bukti kepatuhan terhadap UU Minerba, pemerintah justru memberikan rekomendasi ekspor mineral terhadap segelintir perusahaan. Komitmen AP3I yang telah membangun smelter pun akhirnya rontok, dibuktikan dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja.
Sehingga sekali lagi patut diduga, pemberian rekomendasi ekspor mineral oleh Ditjen Minerba kepada segelintir perusahaan, merupakan hasil kesepakatan gelap antara oknum pemerintah yang bermufakat jahat dengan oknum DPR. Namun, biarkanlah dugaan tersebut dijawab oleh penegak hukum khususnya KPK yang sudah seharusnya pro aktif melakukan penyelidikan.
Sembari menanti gebrakan penegak hukum, pemerintah melalui Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan sesungguhnya juga berperan penting untuk menghentikan rekomendasi ekspor yang diterbitkan Kementerian ESDM. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 01/M-DAG/ PER/1/2017 tentang "Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahaan dan Pemurnian".
Dalam Permendag tersebut disebutkan, bahwa izin ekspor akan diberikan kepada pemegang IUP OP dan IUPK OP yang telah dan sedang membangun smelter atau boleh bekerja sama antar pemegang IUP dengan Pemegang Izin Usaha Industri (IUI). Tentu kalimat"“telah dan sedang membangun" itu sangat berbeda pemahamannya dengan kalimat "berkomitmen akan membangun smelter". Dengan kata lain, Kementerian Perdagangan mempunyai kewenangan untuk menolak rekomendasi yang telah diterbitkan Kementerian ESDM. [***]
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.