Jakarta, TAMBANG – Indonesia saat ini tengah mendorong peningkatan nilai tambah. Namun harusnya upaya ini tidak sampai pada produk smelter. Pemerintah perlu mendorong lebih ke hilir, untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar.
Meski kebutuhan akan produk-produk berbasis bahan tambang termasuk didalamnya logam dasar tinggi, namun sejauh ini sebagian besar masih diimpor. Padahal Indonesia memiliki potensi sumber daya alam tambang yang bisa menghasilkan produk-produk tersebut.
“Dalam negeri kebutuhannya ada, tapi ada gap juga. Dari hasil fasilitas pemurnian ke produk yang siap digunakan industri dalam negeri itu yang enggak ada,” kata Kepala Seksi Pengawasan Kelayakan Usaha Mineral Kementerian ESDM I Made Edy Suryana.
Edy pun kemudian menyoroti masih minimnya serapan industri dalam negeri, membuat produk hasil pemurnian smelter lebih banyak diekspor. Meski ada nilai tambah namun akan lebih optimal jika produk tersebut diolah dalam negeri untuk menghasilkan produk hilir.
Selama ini sebagian besar bahkan hampir semua produk smelter diekspor. Produk hasil pemurnian dari smelter saat ini yang terserap dalam negeri, baru 3.000-4.000 ton per tahun oleh industri logam dasar. Padahal, saat ini produksi smelter tiap tahunnya mencapai 60.000-70.000 ton per tahun.
Sebut saja produk Smelter Grade Alumina PT Well Harvest Wining tidak terserap oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). “Bagaimana kita bisa berharap ada tambahan smelter SGA, sementara produknya tidak terserap di pasar domestik,” tutur Made.
Saat ini terdapat 52 smelter dalam negeri yang telah terbangun hingga Februari 2018. Tidak hanya itu, masih ada 19 smelter yang masih dibangun dengan perkembangan di atas 5 persen. Smelter yang paling banyak terbangun adalah untuk produksi timah sebesar 29 unit. Sementara smelter nikel yang sudah terbangun mencapai 14 unit dan 12 smelter nikel masih dalam proses.
Smelter besi yang terbangun sudah mencapai empat unit dan tiga unit masih digarap. Smelter mangan dan bauksit saat ini sudah terbangun masing-masing dua unit.
Adapun, smelter untuk tembaga yang eksisting sebanyak satu unit dan satu unit sedang dalam tahap pembangunan. Sementara untuk komoditas timbal dan seng saat ini ada tiga smelter yang dalam tahap pembangunan.
Akhmad A. Korda, Head of Departemen Head of Alloys Development Laboratory ITB, mengatakan, sangat baik jika berbicara tentang hilirisasi itu tidak berhenti sampai produk smelter. Karena itu menyalahi semangat asli dari nilai tambah yakni menghasilkan produk hilir.
“Karena kalau kita bicara hanya sekedar smelter harusnya sudah jauh sebelum ini kita pikirkan. Kita sudah terlambat jauh. Harusnya kita berpikir lebih jauh ke depan,”ungkap Akhmad. (Selengkapnya Baca Majalah Tambang Edisi Februai 2018)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.