Ignasius Jonan bakal larang penuh ekspor ore nikel, investasi 57 smelter berhenti?
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produsen nikel yang sedang membangun smelter kini dibuat cemas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun beleid berkenaan dengan percepatan peghentian ekspor bijih nikel (ore) secara total.
Sejatinya, pemerintah sudah memiliki rencana untuk menutup ekspor nikel ore pada tahun 2022. Hal ini bersamaan dengan target penyelesaian pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
Rencana penyetopan yang dipercepat itu dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin. Ia bilang, pihaknya sudah diajak berdialog dengan pemerintah dalam rencana penerbitan aturan baru untuk mempercepat penyetopan ekspor bijih nikel itu.
Hanya saja ia enggan membeberkan isi dari aturan yang pernah dibicarakan. "Iya sedang dibuat aturan. Poinnya revisi, stop ekspor," terangnya kepada KONTAN.
Baginya, pemerintah harus konsisten dengan PP 01/2019, bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Sebab ia takut, jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.
Seperti misalnya, akan ada banyak tambang nikel yang tutup karena tidak bisa diekspor, berimbas pada harga yang tidak balancing. "Harga ekspor dan harga lokal kan mati. Nanti terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup," terangnya. Terlebih lagi, banyak yang tengah mengembangkan smelter, namun tidak ada pemasukan dana melalui penjualan bijih nikel yang diekspor. Alhasil, pembangunannya mangkrak.
Seperti diketahui, pengaturan dan pelarangan ekspor mineral mentah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba. Pasal 103 ayat (1) dalam beleid tersebut mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Lebih lanjut, pada Pasal 170 disebutkan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan. Selanjutnya
Namun, pemerintah melakukan relaksasi, dan mengizinkan ekspor mineral mentah. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 tahun 2017 yang diterbitkan pada 11 Januari 2017.
Dalam beleid tersebut, nikel dengan kadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari satu atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.
Baca Juga: Tiga smelter anyar bakal beroperasi tahun ini
Dengan relaksasi tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengklaim, hingga saat ini belum ada perubahan sehingga peraturan yang lama masih tetap berlaku.
Bambang pun mengaku tidak tahu apakah akan ada perubahan, baik dari percepatan jadwal penutupan ekspor ore nikel maupun spesifikasi dari kadar ore yang boleh diekspor.
"Saya tidak mau berandai-andai, nanti kalau memang keluar peraturannya, baru bisa comment. Prinsipnya sebelum ada aturan baru, yang lama tetap berlaku," katanya beberapa waktu lalu.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak memilih untuk tidak berkomentar hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. "Saya no comment untuk itu. Nanti saja kalau memang ada yang baru," ujarnya kepada KONTAN.
Mengacu data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2018 lalu realisasi ekspor nikel sebesar 20,09 juta ton dan baukit 8,70 ton. Sedangkan rencana ekspor nikel pada tahun ini sebesar 15,07 juta dan bauksit sebanyak 10,97 juta.
Dalam perencanaan Kementerian ESDM, akan ada 40 smelter baru hingga tahun 2022. Dari tambahan smelter tersebut, 21 di antaranya merupakan smelter nikel dan bauksit berjumlah 6 smelter.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.