Ironis Penguasaan 51 % Saham PT Freeport Indonesia oleh Inalum Tergantung Izin China
Decak kagum publik atas keberhasilan Pemerintah katanya berhasil menguasai mayoritas saham PT Freeport Indonesia setelah hampir 50 tahun dikuasai asing bisa jadi akan berakhir ironis.
Sehingga walaupun PT Inalum berhasil menguasai saham 51% didalam PT Freeport Indonesia , akan tetapi kendali operasi pertambangannya tetap oleh Freeport Mac Moran , maka saya harus berani mengatakan lebih awal bahwa rencana pembangunan smelter itu hanya ada diatas kertas.
Pasalnya setelah berhasil menanda tangani HoA ( Head of Agreement ) pada bulan Juli 2018 dilanjuti dengan penanda tanganan SPA ( Sales Purchase Agreement ) antara Dirut PT Inalum holding BUMN Tambang Budi Gunawan Sadikin dengan CEO Mac Moran (FCX) Richard Adkersen pada 27/9/2018 di KESDM Jakarta untuk membeli 40% PI Rio Tinto dan 9,6 % saham Indocopper Investama di PTFI dengan nilai USD 3, 8 miliar , dan oleh publik saat itu dimaknai kalau sudah dibayarkan oleh PT Inalum dua bulan kedepan berarti pemerintah Indonesia cq PT Inalum sudah berhasil menguasai 51 % saham PT Freeport Indonesia , ternyata tidak semudah apa yang diberitakan oleh berbagai media.
Meskipun untuk melaksanakan pembayaran terhadap PI Rio Tinto itu , Freeport Mc Moran masih harus memunggu persetujuan dari otoritas pemerintah China , begitu kata Dirut PT Inalum Budi Sadikin yang dikutip oleh beberapa media , lebih jauh dia mengatakan bahwa " ini tanda tangan terakhir , kita akan bayar cash USD 3,8 miliar dari 11 sindikasi bank asing , paling lambat bulan November 2018 dana itu tersedia , namun dia tidak bersedia membuka nama konsorsium bank tersebut sebelum proses transaksi selesai " imbuh Budi.
Selain soal pendanaan , proses divestasi ini juga masih menunggu sejumlah persyaratan administrasi , yang kemungkinan agak lama ini adalah ijin antitrust dari Komisi Pengawasan Usaha dari China , karena Freeport Indonesia banyak menjual produk tembaga nya ke China , jadi mereka akan kontrol dan tak mau kalau entitas barunya terlalu dominan untuk ekspor ke China , kalau terlalu besar , kan takut harganya bisa dikontrol , tapi menurut Richard Adkerson prosedur ini tidak berisiko untuk transaksi yang akan berlangsung , tutup Budi.
Namun ketika hal tersebut saya coba konfirmasi langsung ke Dirut PT Inalum Budi Sadikin pada 3/10/2018, dia menjawab prosedur itu lazim sesuai UU Anti Monopoli Tiongkok yang sudah diberlakukan sejak 1 Agustus 2008 untuk melindungi persaingan dengan asing dan dengan memberikan contoh bahwa Glencore pernah melakukan hal yang sama ketika akan mengakuisisi 66% saham tambang tembaga Las Bambas XStrata di Peru pada tahun 2014 baru bisa di eksekusi setelah mendapat persetujuan dari Kementerian Perdagangan China (MOFCOM) , karena China adalah pembeli terbesar tembaga dunia diatas 50% dari tambang tersebut .
Namun ketika saya katakan bahwa kasus divestasi tambang PT Freeport Indonesia mungkin berbeda dengan tambang XStrata di negara Peru , karena kalau Glencore sebagai tranding company mengakuisisi saham tambang di negara lain , tapi PT Inalum sebagai BUMN mendapat penugasan dari Pemerintah sesuai perintah Undang Undang untuk mengakuisi sebuah tambang di negerinya sendiri , tapi Budi Sadikin hanya menjawab Glencore termasuk perusahan besar di 500 Global Fortune melebihi BHP dan Rio Tinto , tapi ketika saya tanyakan apakah jangan jangan syarat ini bagian yang dimintakan oleh anggota konsorsium bank China sebagai syarat pembiayaan , dia tidak menjawabnya.
Begitu juga ketika saya tanyakan apakah group Medco dalam mengakuisisi saham PT Newmont Sumbawa telah melakukan hal yang sama , iya katanya kalau produk tambangnya banyak dijual ke China akan melakukan hal yang sama.
Akan tetapi terhadap akusisi Newmont oleh Medco saya tidak pernah mendengar cerita tersebut , bisa jadi karena sumber pembiayaan nya berasal dari bank BUMN .
Terpana sejenak saya mencernai kalimat tersebut , ternyata apakah kita sudah tidak berdaulat lagi atas kekayaan alam di negeri kita sendiri , tapi sudah dibawah kendali orang asing.
Pertanyaan diatas itu harus dijawab dengan transparan dan jujur oleh PT Inalum ke publik , jangan sampai meminta persetujuan dari otoritas China akan dianggap oleh publik bahwa Kementerian ESDM sekarang merupakan cabang dari otoritas China.
Seperti kata orang di kampung saya ibarat " sapi punya susu , lembu punya nama" atau " keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya ".
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.