Izin Ekspor Mineral Sepi Peminat Pasca Terbitnya Aturan Baru
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, sampai saat ini belum ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mengajukan rekomendasi ekspor ore setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 pertengahan Januari lalu.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya persyaratan yang ditetapkan pemerintah sebagai syarat rekomendasi ekspor. Apalagi, syarat tersebut begitu banyak, dan diklaim bisa menciutkan niat perusahaan tambang untuk ekspor.
Syarat tersebut tercantum di dalam pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017, di mana pemerintah membebankan 11 persyaratan bagi IUP agar rekomendasi ekspornya bisa diberikan.
Beberapa persyaratan itu terdiri dari rencana pembangunan smelter berdasarkan verifikasi dari verifikator independen, laporan cadangan, hingga rencana penjualan ekspor.
"Persyaratan tersebut akan diberikan kepada siapa aja yang mau ekspor. Tapi sampai sekarang belum ada yang mengajukan," ujar Bambang, Senin (6/2).
Selain itu, pengawasan kemajuan pembanguan (progress) smelter juga dianggap bisa membuat perusahaan tambang berpikir ulang sebelum ekspor. Di dalam pasal 11 beleid yang sama, pemerintah bisa mencabut rekomendasi ekspor jika persentase progress smelter tak mencapai 90 persen dari rencana per enam bulan.
"Justru dengan kebijakan ini, kami lihat perusahaan mana saja yang serius membangun smelter. Kalau memang niat membangun smelter, harusnya bisa mengikuti peraturan yang ada," terangnya.
Menurutnya, investasi smelter perlu dikejar karena kewajiban ini sudah diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009. Namun, sektor ini dianggap tak menarik karena biayanya cukup mahal dengan tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return/IRR) yang juga rendah.
Jika investasi smelter memang menguntungkan, seharusnya banyak IUP yang membangun smelter tanpa harus dibebankan banyak peraturan. Maka dari itu, tak heran jika saat ini realisasi pembangunan smelter sangat sedikit.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat 28 proyek smelter yang terealisasi sejak UU Minerba diberlakukan hingga semester I tahun lalu. Angka ini terdiri dari smelter yang dibangun oleh IUP dan dibangun menggunakan Izin Usaha Industri (IUI).
"Dengan upaya ini, kami berharap 2022 tidak ada lagi ekspor mineral," tambahnya.
Sebagai informasi, pemerintah tetap memperbolehkan perusahaan tambang untuk melakukan ekspor mineral mentah hingga lima tahun mendatang, sesuai Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.
Perusahaan tambang masih diperbolehkan ekspor asal membangun smelter dalam jangka lima tahun, dikenakan bea keluar khusus, dan mengubah status menjadi IUP Khusus jika izin perusahaan tambang sebelumnya berupa Kontrak Karya (KK).
Namun, sebelumnya BKPM menyebut bahwa relaksasi ekspor mineral ini berpotensi membuyarkan 151 rencana investasi di bidang smelter yang masuk ke BKPM sejak Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 diberlakukan hingga semester I 2016.
Secara lebih rinci, angka itu terdiri dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar US$8 miliar dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan nilai Rp8,8 triliun. (gir)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.