Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha mulai melakukan penelitian terkait isu penjualan dan harga nikel.
Juru Bicara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih menjelaskan bahwa selama tiga bulan terakhir pihaknya sudah melakukan pengkajian terkait penjualan nikel ore di dalam negeri. Dalam kajian itu, komisi memanggil beberapa pihak untuk mengetahui seluk beluk bisnis nikel tersebut.
“Dalam rapat komisioner hari ini [kemarin] diputuskan untuk melakukan penelitian terkait penjualan dan harga nikel. Ini murni inisiatif kami dan sampai saat ini belum ada laporan sesuai prosedur yang kami terima,” ujarnya, Senin (18/11/2019).
Dia melanjutkan, dalam penelitian, pihaknya akan meminta keterangan dari para pemangku kepentingan dalam bisnis nikel mulai dari pertambangan, smelter hingga pemerintah selaku regulator. Jika ditemukan minimal satu alat bukti, maka proses tersebut bisa dinaikkan ke tahap penyelidikan. Akan tetapi, lanjutnya, tidak tertutup kemungkinan buah dari penelitian tersebut berbentuk advokasi kebijakan yang ditujukan kepada pemerintah. Baca juga: LPS Kembali Pangkas Bunga Penjaminan Simpanan 25 Bps
Zulfirmansyah, Direktur Ekonomi KPPU menjelaskan bahwa dalam telaah awal pihaknya melihat ada persoalan regulasi terkait pricing dari bahan nikel ore. Telaahan itu, lanjutnya, akan menjadi bahan awal dari proses penelitian yang mulai ditangani oleh pihaknya.
“Kami tidak menargetkan kapan penelitian ini akan rampung namun biasanya akan dilaporkan setiap 30 hari kerja,” tuturnya. Baca juga: Kinerja ASN Seperti Ikan di Akuarium, Mudah Dilihat
Dia memberikan gambaran bahwa pada umumnya, jika suatu komoditas dilarang diekspor dan mesti dijual di dalam negeri melahirkan konsentrasi pasar yang tinggi. Jika terjadi konsentrasi pasar yang tinggi maka hal itu memberikan posisi tawar yang kuat kepada salah satu pihak dan posisi tawar yang rendah kepada pihak lainnya sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha yang tidak sehat.
Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengaku telah melaporkan dugaan persaingan usaha tidak sehat terkait harga nikel ke KPPU. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan bahwa ada dua smelter besar yang beroperasi dan menyerap nikel di atas 60% sehingga menguasai harga.
“Smelter besar itu jadi barometer smelter-smelter kecil mengikuti harga. Menyerap di atas 60% permintaan yang mayoritas makanya menguasai harga dan smelter lain mau tidak mau mengikuti harga mereka,” ujarnya dalam rapat dengan DPR pekan lalu.
Berdasarkan kesepakatan yang disampaikan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harga nikel yang akan diserap smelter pascapelarangan ekspor Oktober silam dengan harga US$30 per metrik ton.
Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi telah memberikan pernyataan mencabut penghentian ekspor bijih nikel sementara meskipun terbatas hanya bagi perusahaan nikel yang sudah lulus evaluasi.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bagi perusahaan yang memenuhi ketentuan ekspor bijih nikel, yakni sesuai dengan kuota yang diberikan, kadar yang tak melebihi 1,7%, dan pembangunan smelter sesuai progress dapat kembali melakukan ekspor sebelum tenggat waktu larangan yang ditetapkan pada 1 Januari 2020.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.