Pemerintah Perlu Bijak pada Pengusaha UKM Pertambangan
PONTIANAK - Pemerintah pusat didesak segera melakukan evaluasi terhadap pemberlakuan kewajiban bagi pengusaha tambang bauksit untuk membangun smelter yang sudah berjalan empat tahun lebih. Karena dampaknya hingga kini terjadinya penurunan ekspor, berkurangnya tenaga kerja hingga terancam pailitnya pengusaha tambang di Kalimantan Barat.
“Kita berharap agar pemerintah dapat membuat kebijakan dan memberikan solusi demi kelangsungan berusaha bagi pengusaha UKM di sektor tambang bauksit, khususnya di Kalimantan Barat,” ungkap Santyoso Tio, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Provinsi Kalimantan Barat kepada Pontianak Post, kemarin.
Menurut Santyoso, masalah di sektor pertambangan bauksit terjadi sejak diberlakukannya larangan ekspor, 12 Januari 2014. Aturan ini melalui Peraturan Menteri ESDM nomor 1 tahun 2014. Kondisi di Kalbar, pengusaha pemegang IUP Bauksit terpaksa menghentikan kegiatan tambang dan mem-PHK-kan sebagian besar karyawan. Tercatat waktu itu, lanjut Santyoso, dari data BPS Kalbar Agustus 2015 tecatat sebesar 47 ribu pekerja terdampak PHK. “Akibat tidak bisa ekspor dan tidak adanya pembeli lokal maka aktivitas perusahaan juga setop, dampaknya ribuan pekerja terpaksa dirumahkan,” katanya.
Tumbangnya sektor pertambangan bauksit terlihat dalam, penerimaan devisa di sektor tambang tahun 2014 mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu sebesar USD526.274.000 atau mengalami penurunan 51,72 persen dari total penerimaan devisa tahun sebelumnya (Data BI Perwakilan Kalbar).
Beberapa solusi dikeluarkan pemerintah dengan Peraturan Menteri ESDM no 6 Tahun 2017, Peraturan Menteri ESDM no 35 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ESDM no 25 Tahun 2018, pemerintah telah memberikan kesempatan ekspor bauksit hanya kepada perusahaan yang telah atau yang berencana membangun smelter alumina.
Kendati demikian, aturan ini belum berpihak kepada perusahaan UMKM disektor tambang. Mengingat sampai saat ini masih terdapat banyak pemegang IUP bauksit yang tidak mampu membangun smelter alumina karena kekurangan modal maupun minimnya cadangan material bahan bakunya, tetapi masih tetap dibebani kewajiban membayar semua PNBP maupun pajak-pajak lainnya.
“Untuk perusahaan UMKM yang tidak mampu tersebut pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang memberikan kesempatan ekspor seperti ketentuan yang telah diatur dalam UU Minerba no 4 Tahun 2009 dan PP nomor 23 Tahun 2010 tentang kewajiban dan hak pengusaha tambang termasuk ketentuan ekspor seperti yang diatur dalam PP nomor 23 tahun 2010 pasal 84,” paparnya.
Karena itu, Kadin Kalbar merasa perlu untuk terus menyuarakan persoalan kepada pemerintah pusat. “Kami mohon kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI untuk memberikan masukan dan usulan kepada pemerintah agar dapat membuat kebijakan dan memberikan solusi di sektor pertambangan ini. Masalah ini juga kami sampaikan ke menteri ESDM RI, DPR RI, Kadin Indonesia dan Gubernur Kalbar,” pungkasnya.
Ketua Umum Kadin Indonesia Eddy Ganefo mengatakan, tugas Kadin adalah membina dan memberdayakan pengusaha Indonesia terutama yang berada dalam kesulitan seperti yang dialami pengusaha tambang Bauksit.
“Sejalan dengan semangat Nawacita, Kadin menghimbau pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dikeluarkan untuk pengusaha pertambangan khususnya Bauksit yang memerlukan perlakuan khusus, karena melibatkan pengusaha kecil atau UKM,” ujar Ganefo.
Ganefo mengingatkan bahwa amanat UU NO.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara. Dalam UU Minerba tidak ada amanat larangan ekspor yang ada hanya pengendalian ekspor untuk kepentingan nasional. Sementara itu dalam Permen No.1/2014, lanjut Ganefo, Kementerian ESDM melarang penjualan ekspor mineral mentah nikel dan bauksit meskipun telah diolah. Pemerintah beralasan bauksit yang diolah belum memunuhi standar kadar yang diinginkan. Akibat penerapan aturan itu, potensi pendapatan negara yang hilang dari mineral bauksit sangat besar.
“Kewajiban membangun smelter memerlukan investasi yang besar dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh pengusaha-pengusaha UKM di daerah,” tukasnya.
Kondisi pengusaha bauksit, sambungnya, seperti hidup segan dan mati tak mau, sehingga perlu solusi dari pemerintah. “Jangan sampai pengusaha tambang khususnya tambang bauksit yang kecil ini mati,” katanya.
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengungkapkan, bahwa pemerintah perlu mengenjot ekspor dan mengurangi impor barang mewah seperti mobil Ferrari. Tujuannya untuk mengurangi defisit neraca perdangan dan transaksi berjalan yang turut berkontribusi dalam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Tidak usah impor Ferrari, tidak usah impor Lamborghini contohnya dan macam-macam itu supaya mengurangi faktor-faktor impor tadi," kata Jusuf Kalla di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (2/8) lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan defisit sebesar US$ 1,02 miliar pada semester I 2018. Defisit neraca dagang semester I tersebut merupakan yang pertama kalinya sejak 2015. Seiring kondisi tersebut, neraca transaksi berjalan (perdagangan barang dan jasa) ikutan tertekan.
Bank Indononesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan mencapai US$ 5,5 miliar pada triwulan I tahun ini. Defisit berisiko membengkak menjadi US$ 25 miliar untuk keseluruhan 2018 atau lebih tinggi dibandingkan US$ 17 miliar tahun lalu. (krl)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.