Kantongi Enam Putusan Inkrah, Tambang PPCI Masih Mengambang
Jakarta – Besarnya nilai investasi ternyata tak menjadi jaminan kenyamanan bagi Hengky Wijaya dalam menjalankan bisnis pertambangannya di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Bahkan, Direktur Utama PT Pasir Prima Coal Indonesia (PPCI) ini sudah mengantongi enam putusan pengadilan yang inkrah (in kracht van gewijsde) namun perusahaannya belum bisa bergerak.
Itulah sebabnya, Hengky rajin bolak-balik ke Jakarta untuk mengadukan persoalannya ke berbagai lembaga yang terkait dengan bidang bisnisnya. “Sebab perusahaan saya berhenti beroperasi sejak Februari 2017. Saya sekarang merugi ratusan miliar,” kata Hengky kepada BeritaSatu.com, Rabu (26/9).
Ketika memulai membuka pertambangan pada 2003, kata Hengky, prosesnya berjalan sangat lancar. Saat itu, PPCI mengantongi izin KP (kuasa pertambangan). Bupati Penajam Paser Utara dimasa itu, Yusran Aspar, menetapkan PPCI menjadi pemegang hak atas wilayah izin usaha pertambangan dalam areal seluas 3.964,9 hektare di Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku. Hingga perusahaan ini mengantongi izin KP eksploitasi pada 2008.
Pada 2009, terbit Undang Undang tentang Minerba, maka imbasnya harus ada sejumlah penyesuaian. Salah satunya adalah izin KP harus diubah menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan). “Maka kami pun mengajukan permohonan penyesuaian KP menjadi IUP,” kata Hengky.
Namun, permohanan PPCI tak kunjung mendapat respon dari pemerintah setempat. “Sampai empat kali kami kirim tetap tak ditanggapi,” kata Henki. Belakangan, PPCI mendapat informasi bahwa izin justru diperoleh oleh PT Mandiri Sejahtera Energindo (MSE) dan PT South Pasific Resources (SPR). Di sini ada dua izin KP di lahan yang sama. “Mengapa diterbitkan KP lagi untuk lahan PPCI yang masih berlaku?,” Henky bertanya.
Kisruh Izin Ganda Dua izin KP untuk dua perusahaan yang berbeda itu menimbulkan kecurigaan. “Kami menduga ada tindak pidana pemalsuan,” ujar Hengky. Maka dilaporkanlah soal itu ke Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur.
Saat proses hukum di Polda sedang berjalan, Bupati Andi Harahap (pengganti Yusran), mencabut izin KP eksploitasi milik PPCI pada Februari 2011. Karena itu, PPCI menggugat persoalan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda. Pengadilan mengabulkan gugatan PPCI, bahkan Mahkamah Agung juga menerbitkan putusan memenangkan gugatan PPCI pada 2013. Artinya, secara hukum izin PPCI yang berlaku.
Sementara laporan polisi yang disampaikan PPCI terus berlanjut hingga penyidik menetapkan dua tersangka tindak pidana pemalsuan, yaitu Jono Tausik yang adalah Kepala Dinas Pertambangan Panajam Paser Utara di masa itu, dan Direktur MSE yang berinisial E.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Grogot memutuskan Jono bersalah dan menghukumnya 7 bulan penjara pada 8 Mei 2012. Kendati demikian, Bupati Panajam Paser Utara tetap menerbitkan IUP Operasi Produksi (OP) kepada MSE di atas lahan PPCI. “Lha, itu kan artinya ia menerbitkan izin setelah pengadilan memutuskan telah terjadinya pemalsuan,” kata Deni Ramon Siregar, kuasa hukum PPCI.
Belakangan, setelah ada putusan PTUN dan perkara pidana di PN Tanah Grogot, Bupati Penajam Paser Utara menganulir surat pencabutan izin eksploitasi PPCI, maka hidup lagi KP eksploitasi milik PPCI. Langkah berikutnya, bupati harus mencabut IUP-OP yang sudah diberikan untuk MSE, baru kemudian menerbitkan IUP-OP untuk PPCI.
Namun MSE melawan. Mereka menggugat surat bupati tentang pencabutan IUP-OP MSE dan penyesuaian KP eksploitasi PPCI menjadi IUP-OP. Anehnya, majelis hakim PTUN Samarinda mengabulkan gugatan MSE. “Padahal, dalam soal MSE sudah ada putusan pidana yang menyatakan ada pemalsuan dan tersangkanya juga dihukum bersalah,” kata Deni.
Tak hanya menggugat PTUN, MSE juga melaporkan PPCI ke Mabes Polri dengan tuduhan tindak pidana pertambangan illegal pada Maret 2015. Namun, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Mabes Polri menilai itu bukan tindak pidana, dan menghentikan penyidikan dengan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada 18 Februari 2016.
Setelah gagal di Mabes Polri, MSE berupaya memasukkan laporan polisi ke Polda Kaltim. Ternyata, Polda memprosenya. Pertambangan PPCI sampai ditutup dengan police line. Karena itu, PPCI menggugat praperadilan. PN Balikpapan mengabulkan praperadilan PPCI dan memerintahkan Ditreskrimsus Polda Kaltim untuk mencabut police line itu pada 21 Maret 2017.
Persoalan yang Menggantung Perjalanan perkara belum usai. Kegiatan PPCI masih terganjal. Sebab, MSE --dengan dalih putusan PTUN-- merasa paling berhak atas lahan pertambangan. Karena itu, PPCI menggugat perdata ke PN Tanah Grogot untuk menentukan siapa yang paling berhak atas lahan tambang itu.
Pengadilan mengabulkan gugatan PPCI. Pada pokok putusannya menyatakan PPCI yang berhak terhadap izin pertambangan sengketa dan menyatakan izin-izin milik MSE tak berkekuatan hukum.
Bahkan putusan tak berubah hingga sampai ke Mahkamah Agung. Putusan MA pada 29 Mei 2017 menjadi kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) bagi PPCI.
Akibat terus dirugikan dengan masalah itu, PPCI akhirnya mengadu juga ke Mabes Polri. PPCI melaporkan bahwa MSE diduga melakukan tindak pidana menggunakan surat-surat palsu. Sejak dilaporkan pada 2016, laporan ini sampai kini masih berada di Mabes Polri.
Sebaliknya, MSE juga kembali melaporkan PPCI ke Polda Kaltim pada 29 Mei 2017. Disebutkan, telah terjadi tindak pidana korporasi yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin, dan pembalakan liar. Bahkan, Polda Kaltim sampai menetapkan Hengky sebagai tersangka.
Tentu saja Hengky mengajukan praperadilan. Dalam putusan hakim pada 7 Juli 2017, disebutkan penetapan tersangka terhadap Hengky adalah tidak sah.
Kendati sudah ada putusan praperadilan, dan SP3 dari Mabes Polri, MSE tetap berupaya masuk melalui Polda Kaltim. MSE kembali memasukkan laporan polisi yang sama dengan yang sebelumnya.
“Padahal suatu laporan polisi yang bukan merupakan tindak pidana, tidak dapat dibuka kembali,” kata Deni.
“
Gubernur Kaltim, Awang Farouk, meresponnya. Melalui surat bertanggal 1 Februari 2018, gubernur menyatakan tidak pernah mencabut izin PPCI. Setelah gubernur menjawab barulah Direktorat Minerba mencabut CnC MSE, tetapi masalahnya CnC milik PPCI masih mengambang. ”
Clear and Clean Langkah MSE belum usai. Kali ini mereka mengajukan permohonan kepada Kementerian ESDM untuk mencabut CnC (Clear and Clean) milik PPCI.
Semula Direktorat Minerba (Mineral dan Batubara) menolak permohonan itu dengan menerbitkan surat. Belakangan malah mencabut CnC milik PPCI dengan alasan Gubernur Kaltim telah mencabut seluruh izin pertambangan milik PPCI, bahkan menerbitkan CnC untuk MSE.
Gubernur Kaltim, Awang Farouk, meresponnya. Melalui surat bertanggal 1 Februari 2018, gubernur menyatakan tidak pernah mencabut izin PPCI. Setelah gubernur menjawab barulah Direktorat Minerba mencabut CnC MSE, tetapi masalahnya CnC milik PPCI masih mengambang. “Dengan kata lain belum dikembalikan,” kata Deni.
Sementara itu, Jono setelah bebas dari penjara kembali bergerak. Ia beberapa kali mendatangi KPK dan melaporkan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan PPCI.
Namun, KPK belum meresponnya. “Darimana kami korupsi, malah kami wajib pajak yang taat untuk negara ini. Justru KPK perlu menelusuri mengapa bisa terbit izin di atas lahan yang sudah ada izin sebelumnya,” katanya.
“Kami hanya memohon keadilan. Karyawan kami kini banyak yang terlantar.”
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.