KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rendahnya progres pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) menuai reaksi. Pasalnya, upaya pemerintah memberikan rekomendasi ekspor mineral mentah untuk menekan biaya pembangunan smelter juga dianggap gagal sejumlah kalangan.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo mengungkapkan, awal mula kelahiran kebijakan pelonggaran ekspor mineral mentah karena Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari ESDM melalui sub sektor Minerba turun drastis.
Alasan kedua, kata dia, PT Aneka Tambang (Antam) mengeluhkan rapornya merah karena tak bisa melakukan ekspor nikel. "Jalan yang tercepat memperbaiki. menjual nikel ore lagi saja yang sejak dahulu menunjukkan jumlah penghasilan hingga 40% untuk Antam," ungkapnya, kepada KONTAN, Senin (4/11).
Cerita Jonathan, upaya Antam terus melobi pemerintah akhirnya berbuah di tahun 2016. Wacana relaksasi ekspor nikel dan bauksit itu dibuka. Bahkan Peraturan Menteri (Permen) No. 5 dan No. 6 tahun 2017 terbit.
Hanya kata Jonathan lagi, PNBP nyatanya naik bukan karena Permen 5 dan 6 tahun 2017, rapor Antam pun tidak memuaskan. "Semestinya pemerintah sadar, kebijakan itu ternyata sia-sia," terangnya.
Bahkan, menurutnya, kebijakan ekspor mineral ini malah memakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan smelter yang tidak bisa mendapatkan pasokan bahan baku mineral dari dalam negeri karena bahan tersebut diekspor ke luar negeri. "Jadi kebijakan itu bukan hanya dikaji tapi distop karena merugikan banyak investor," terangnya.
Seperti diketahui, ada 11 perusahaan mineral yang sudah diberikan surat rekomendasi ekspor mineral mentah. Tapi realisasi pembangunan smelter rendah.
Misalnya, PT Ceria Nugraha Indotama, progres proyek smelter belum sama sekali alias masih 0%. Padahal perusahaan itu sudah mendapat surat rekomendasi ekspor nikel pada Juli 2017 dengan kuota 2,4 juta ton. Demikian pula PT Dinamika Sejahtera Mandiri progres smelter nikel baru 0%.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi menilai, kebijakan izin ekspor mineral mentah yang dibuka sejak 12 Januari 2017 lalu gagal total. Pasalnya, setelah jutaan ton nikel dan bauksit diekspor tanpa dimurnikan, tak satupun smelter terbangun. "Menteri ESDM dan Dirjen Minerba harus mundur," tegasnya kepada KONTAN, Senin (4/11).
Dia bilang, Menteri ESDM gagal mengawasi progres smelter. Maka demikian, pemerintah harus melarang ekspor mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri pada 12 Januari 2018.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.