Pada akhir September, pemerintah melalui Menteri Keuangan mendapatkan surat penolakan divestasi saham 51% dari perusahaan induk PT freeport Indonesia, Freeport Mc Moran. Padahal sebelumnya pada bulan Agustus pemerintah telah mengklaim keberhasilan dalam mencapai kesepakatan bersama pihak freeport Indonesia untuk melakukan divestasi 51%, yakni penjualan saham freeport kepada pemerintah Indonesia sebesar 51%. Hingga pada akhirnya pemerintah menanggapi bahwa negosiasi dengan pihak freeport masih sulit.
Dalam kesepakatan divestasi, pihak Freeport mengajukan diri untuk tetap memegang kendali penuh atas PT Freeport Indonesia sekalipun sebagian besar saham yang memiliki adalah pihak Indonesia. Tentu hal ini membuat pihak Indonesia tidak sepakat dalam negosiasi, karena menunjukkan bahwa pihak yang untung ialah tetap PT freeport, sedangkan Indonesia tetap tidak bisa berbuat banyak karena menjadi pihak yang dikendalikan. Ketika divestasi ini gagal, maka sumber daya alam di Papua tersebut tetap berada dalam kekuasaan asing, yakni PT Freeport Mc Moran.
Sejatinya dalam hal pengelolaan sumber daya alam, Indonesia sering kali terbentur masalah. Termasuk masalah pengelolaan tambang emas yang sekarang dikelola oleh Freeport. Berdasarkan data yang ada, sebesar 80% SDA Indonesia dikuasai oleh asing dan royalti yang diterima oleh pihak Indonesia relatif kecil. Hal ini yang pada akhirnya memunculkan sejumlah peraturan pemerintah yang mengatur masalah investasi SDA oleh swasta. Termasuk adanya peraturan menteri ESDM terkait pengubahan status dari kontrak karya menjadi IUPK (ijin usaha pertambangan khusus), yang didalamnya memuat salah satu poin aturan kewajiban membangun smelter pertambangan.
Selain itu adanya syarat dari pihak Freeport yang menginginkan perpanjangan kontrak dari tahun berakhir 2021 hingga 2041 (20 tahun) juga menambah daftar kekalahan. Selain kesepakatan penjualan saham atau divestasi pasti berdasarkan harga pasar (fair market value), maka akan jauh lebih mahal dibandingan dengan harga pengganti (replacement cost). Melihat hal ini, sesungguhnya pemerintah pasti akan mengalami kesulitan dan kerugian. Karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh Indonesia yang akhirnya hanya mampu membeli saham sebesar 30%, tidak sampai 51%. Jikalau hal ini tetap dilanjutkan maka pemerintah akan mengandalkan utang sebagai solusi.
Setelah melihat permasalahan yang ada, maka sesungguhnya ada tidaknya divestasi tetap membuat pihak Indonesia rugi. Hal ini disebabkan oleh penerapan konsep ekonomi kapitalis, dimana pemilik modal yang tetap berkuasa, baik swasta nasional maupun internasional. Merekalah yang bisa menguasai sumber daya alam kita yang berlimpah. Sumber daya alam yang sejatinya untuk kepentingan masyarakat secara mudah dapat dikuasi oleh perusahaan individu atau kelompok. Padahal sumber daya alam yang ada dapat memberikan pemasukan besar ke kas negara, yang kemudian dapat digunakan untuk pengadaan fasilitas dan pembiayaan hidup masyarakat. Namun akibat privatisasi SDA oleh asing, pemerintah lebih rela berhutang keluar negeri dengan bunga daripada mendapat uang berlimpah dari kekayaan alamnya sendiri. Ketika utang negara menumpuk maka yang menjadi sasaran untuk membayarnya tidak lain adalah rakyat, yang menjadi korban pencabutan subsidi dan penarikan pajak yang terus meningkat dan bervariasi.
Akar masalah ini yang harus diselesaikan dengan mengambil konsep ekonomi yang adil. Pemerintah harus bersikap tegas kepada para kapitalis, termasuk dalam masalah freeport ini. Apabila pemerintah berniat untuk mengambil alih sumber daya alam di Papua tersebut maka harus menguasainya 100%, bukan melalui divestasi 51%, yang sebenarnya membeli sumber daya alam milik sendiri. Apalagi selama ini pihak Freeport telah banyak melakukan pelanggaran, sehingga ini bisa menjadi jalan pemerintah Indonesia untuk memutus kontrak dengan Freeport.
Penerapan konsep ekonomi yang adil inilah konsep ekonomi Islam, yang berlandaskan pada syariat. Setiap sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum ialah milik semua rakyat, maka tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi). Kepemilikan umum tersebut harus dikelola negara, kemudian hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secaara komunal seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan pembangunan infrastruktur. Sehingga dengan demikian negara mampu memberikan dan menjamin kesejahteraan yang merata.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.