JAKARTA – Pemberlakuan Undang-Undang Ekspor Mineral dan Batu Bara yang diresmikan 12 Januari lalu dinilai akan menekan kinerja emiten pertambangan mineral dan batu bara.
Selain itu, pelaku pasar menilai kebijakan tersebut dapat meningkatkan defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Kewajiban perusahaan tambang memurnikan hasil tambang sebelum diekspor akan berdampak pada defisit transaksi berjalan sebesar 0,2–0,3 persen dari GDP setelah sebelumnya diperkirakan sebesar 0,1–0,2 persen dari GDP.
Berdasarkan hasil riset Citi, kenaikan estimasi defisit transaksi berjalan ini disebabkan oleh adanya risiko adaptasi hasil implementasi kebijakan di minggu-minggu dan bulan-bulan pertama pemberlakuan peraturan ini.
"Kita menaikkan estimasi defisit transaksi berjalan kita karena adanya pengaruh dari regulasi ekspor minerba ini," ungkap Helmi Arman, ekonom pada Asia Pacific Economic & Market Analysis, Citi Research, Kamis (16/1).
Secara spesifik, analis saham sektor tambang Samuel Sekuritas, Yualdo Yudoprawiro, mengatakan keputusan pemerintah ini akan berpengaruh pada PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Salah satu komoditas pertambangan Aneka Tambang, nikel, akan terkena keharusan pemurnian di smelter.
"Pasalnya, porsi ekspor bijih nikel mencapai sekitar 27 persen dari total revenue Perseroan," ujarnya dalam riset Samuel Sekuritas, pekan ini. Padahal bijih nikel akan dilarang untuk diekspor dengan adanya peraturan baru ini.
Lebih lanjut, ia mengatakan Aneka Tambang berpotensi kehilangan seluruh pendapatan dari penjualan bijih nikel. Hal itu yang membuat Samuel menurunkan proyeksi terhadap pendapatan Aneka Tambang.
Sementara itu, PT Vale Indonesia Tbk dinilai tidak akan terkena dampak dari larangan ekspor mineral mentah dikarenakan produknya memang telah berupa olahan yang telah melebihi syarat yang ditentukan. "Apabila kelonggaran diberikan, harga komoditas akan berpotensi turun yang juga akan memberikan downside terhadap PT Vale Indonesia," katanya.
Sementara itu, berdasarkan hasil riset Fitch Ratings, larangan ekspor mineral dan batu bara mentah ini bukan hanya akan merusak persepsi investor asing terhadap bisnis di Indonesia, tetapi juga akan memperlambat output sektor pertambangan dan membebani aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Saat ini, defisit neraca berjalan bergerak lambat, padahal sempat menguat seiring dengan surplusnya neraca perdagangan. Fitch Ratings memproyeksikan defisit transaksi berjalan berada di level 3,1 persen di tahun 2014 dibandingkan dengan estimasi 3,6 persen di tahun 2013 lalu.
Semester Dua
Helmi menyatakan bahwa regulasi ini baru akan terasa manfaatnya pada semester kedua 2014. Pada semester kedua, diperkirakan peraturan ini akan meningkatkan ekspor meskipun basis ekpor mineral relatif lebih kecil dalam bentuk murni.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tahun lalu nilai ekspor dari nikel murni, yaitu nikel matte dan nikel hidroksida, hanya 1 miliar dollar AS. Angka itu lebih kecil dari nikel yang masih mentah (ore), yaitu 1,5 miliar dollar AS. Padahal berdasarkan data Januari hingga Agustus 2013, ekspor nikel dan bijih alumunium senilai 2,8 miliar dollar AS.
"Kami masih mempertahankan rekomendasi underweight untuk sektor metal. Sebelumnya, kami berasumsi bahwa pemerintah akan memberikan kelonggaran bagi ANTM untuk mengekspor bijih nikel sehingga kami masih memberikan 70 persen diskon terhadap proyeksi volume penjualan bijih nikel ANTM di tahun ini," jelas Yualdo.
Berbeda dengan Yualdo, analis dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Ahmad Sujatmiko, menyatakan optimistis dengan kewajiban pemurnian hasil tambang mineral ini.
"Untuk jangka pendek akan menekan kinerja, tapi jangka panjang akan memberi nilai tambah bagi pendapatan perusahaan tambang," urainya. Fitch memperkirakan pajak negara akan bertambah 60 persen pada 2016 dengan adanya peraturan ini karena hasil tambang murni pun akan terkena pajak 20 persen. aya/E-7
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.