Kisruh Harga Nikel, 40% Perusahaan Smelter Langgar Aturan
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah mengatur tata niaga bijih nikel dalam negeri melalui penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) nikel, sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 guna menciptakan rasa keadilan antara penambang maupun pengelola smelter.
Namun sayangnya, belum semua pihak, terutama perusahaan smelter yang membeli bijih nikel dari penambang mengikuti peraturan tentang HPM tersebut.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan sampai saat ini masih ada 40% dari total perusahaan smelter nikel belum mengikuti HPM.
"Yang belum patuh masih 40% per hari Senin kemarin (26/10/2020). Minggu ini dilakukan peringatan kedua supaya yang 40% bisa memenuhi. Kita undang juga lagi yang 40% itu one on one, kenapa Anda tidak mau? Pendekatannya seperti itu," jelasnya saat diwawancarai CNBC Indonesia, Rabu (28/10/2020).
Jika setelah diberikan peringatan kedua ini masih ada perusahaan yang melanggar aturan, maka akan dikeluarkan peringatan ketiga yang bisa berujung pada penghentian sementara operasi. Bahkan, jika setelah itu masih juga tidak patuh, maka pemerintah tak tanggung-tanggung akan mencabut izin usaha perusahaan tersebut.
"Nanti kalau bandel lagi, kita lakukan pencabutan. Saya kira seperti itu langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam rangka menegakkan dan mengimplementasikan HPM sesuai Permen No. 11 Tahun 2020," paparnya.
Seperti diketahui, agar aturan HPM ini berjalan, pada Agustus lalu pemerintah membentuk satuan tugas (Satgas) untuk mengawasi penerapan HPM. Setelah dibentuknya Satgas ini, badan usaha smelter yang belum mematuhi HPM dipanggil satu per satu dan diberi tenggat waktu untuk menerapkan HPM.
Saat pemanggilan, pemerintah menjelaskan esensi dari HPM yang sebenarnya masih jauh lebih murah dibandingkan harga di pasar internasional.
"Sudah diberikan pengertian dengan angka yang transparan kita buka semuanya. Dalam tempo tiga minggu sejak acara itu sudah memberikan arah yang positif bagi pelaku smelter," ujar Yunus.
Sebelumnya, CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus mengatakan pihaknya tidak menolak adanya aturan HPM nikel ini. Namun demikian, pihaknya meminta agar kenaikan harga beli bijih nikel dari dalam negeri ini tidak langsung naik US$ 10 per metrik ton. Menurutnya, kenaikan sebesar itu membebankan perusahaan.
"Kami bukan tidak setuju HPM, kami tidak menolak HPM. Tapi berilah kami napas, sehingga kenaikan tidak sekaligus US$ 10 per metrik ton, mungkin US$ 2,3 atau 5 per ton terlebih dahulu," tuturnya dalam sebuah diskusi tentang nikel secara virtual pada Selasa (13/10/2020).
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan harga bijih nikel berdasarkan transaksi aktual antara penambang dan pembeli masih berada di bawah Harga Patokan Mineral (HPM) yang telah ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral setiap bulannya.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan hal ini tidak sejalan dengan aturan pemerintah di mana HPM harus menjadi patokan harga jual beli domestik. Seperti diketahui, pada 14 April 2020 telah diundangkan Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu bara.
Regulasi ini menyebutkan bahwa HPM logam merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. HPM logam ini juga menjadi acuan harga penjualan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk penjualan bijih nikel. Namun apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam tersebut, maka penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3% dari HPM tersebut.
Berdasarkan informasi yang CNBC Indonesia peroleh, kontrak nikel setelah dibentuknya Satgas HPM yaitu kontrak dengan kadar nikel 1,9% dan 2%. Harga dalam kontrak tersebut sudah sesuai dengan HPM namun dengan sejumlah syarat.
Persyaratan tersebut antara lain adanya penalti kadar nikel, yakni bila kadar nikel yang diterima smelter lebih rendah 0,1% dari kadar yang tertulis dalam kontrak, maka harga akan turun sebesar US$ 7. Begitu juga dengan kandungan air (Moisture Content/ MC) yakni bila MC lebih dari 30%, maka akan dikenakan denda sebesar US% 5 per wet metric ton (wmt).
Dengan demikian, bila awalnya harga terkontrak sebesar US$ 37 per wmt, maka harga aktual yang diterima penambang bisa hanya separuhnya yakni sekitar US$ 15 per wmt.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.