Komisi VII Gemas Mengapa Pemerintah Masih Beri Ijin Ekspor Tambang
rmol.id Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah segera menghentikan izin ekspor konsentrat tambang. Sejak ada peraturan pelarangan ekspor konsentrat tahun 2014, pemerintah terbukti beberapa kali memberikan izin.
Politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini menilai, pemerintah tidak serius melaksanakan UU No 4/2009 Pasal 103 ayat 1, tentang Penambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Disebutkan di dalamnya bahwa mengamanatkan setiap perusahaan tambang harus melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri sebelum diekspor.
“Alasannya proses pembangunan smelter yang belum selesai. Seharusnya Pemerintah mendorong Freeport mempercepat proses pembangunan smelter, bukan malah memperlonggar izin ekspor,” cetus Mulyanto dalam rilis resminya, Selasa (17/3).
Diketahui Pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengizinkan perpanjangan ekspor konsentrat kepada perusahaan tambang, di antaranya adalah PT Freeport Indonesia.
“Pemerintah begitu longgar menerapkan larangan ekspor konsentrat tersebut,” ujar Mulyanto.
Padahal UU itu diberlakukan sebagai upaya memberi nilai tambah produk ekspor sekaligus membuka lapangan kerja baru di dalam negeri.
“Pemerintah harus berani menghentikan ekspor konsentrat tambang. Sebab semua sudah diatur dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah, termasuk soal jangka waktu kompensasi penerapan kebijakan ini,” tegas Mulyanto.
Freeport Indonesia sendiri sudah mengoperasikan fasilitas pemurnian tembaga pertama di Indonesia yang mampu mengolah 300 ribu ton/tahun atau sebesar 40 persen dari total produksi konsentrat tembaga. Sedangkan 60 persen lainnya diekspor dalam kondisi mentah. Sementara pembangunan smelter baru untuk mengolah sisa konsentrat tembaga yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah tersebut baru terealisasi sebesar 4,8 persen.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI beberapa waktu yang lalu, Freeport menargetkan pembangunan smelter baru akan selesai tahun 2023. Mulyanto menilai itu terlalu lama.
Jika dihitung sejak adanya ketentuan pelarangan ekspor tembaga mentah pada 2014, harusnya di tahun 2020 atau 6 tahun setelah kebijakan tersebut ditetapkan, semua pabrik pengolahan konsentrat sudah siap.
“Untuk itu Pemerintah harus mengawal kesiapan perusahaan membangun smelter. Jika perlu dibuat satgas khusus untuk mengawasi pembangunan smelter agar target waktu pembangunan sesuai dengan rencana!” tegas Mulyanto. rmol.id
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.