Jelang berakhirnya tenggat waktu ekspor mineral olahan atau konsentrat pada 12 Januari 2017, perdebatan mengenai relakasi kembali mencuat. Meski begitu, beberapa pekan ke belakang, perdebatan yang mengemuka masih seputar konsentrat dan tak banyak berbicara tentang mineral mentah atau bijih (ore).
Bukan bermaksud mengesampingkan pentingnya pembahasan mengenai relaksasi ekspor konsentrat, tetapi sepertinya perdebatan mengenai mineral mentah bakal sedikit mendominasi dalam beberapa waktu ke depan.
Siapa sangka pemerintah akhirnya siap mengambil kebijakan yang cukup mengejutkan dengan berencana membuka kembali ekspor bijih nikel berkadar rendah dan bauksit, di samping mineral tanah jarang, melaui perubahan keempat Peraturan Pemerintah No. 23/2010 yang merevisi ketentuan di PP No. 1/2014. Nikel dan bauksit merupakan komoditas yang sudah tidak bisa diekspor sejak 12 Januari 2014. Sementara mineral tanah jarang memang belum diatur secara rinci.
Uji materi terkait kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri yang tertuang dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pun sudah pernah dilayangkan sejumlah pengusaha mineral kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua pasal tersebut menjadi dasar pemerintah untuk melarang ekspor mineral mentah.
Hasilnya, MK menolak gugatan tersebut karena menilai bahwa pelarangan ekspor mineral mentah tersebut sudah sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Lalu, apa pertimbangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengambil keputusan tersebut?
Secara umum, alasan yang dipakai kurang lebih sama dengan konsentrat, yakni belum banyaknya fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang mengolah mineral mentah di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, M. Teguh Pamudji, mengatakan baik nikel berkadar rendah maupun bauksit masih sulit untuk dimurnikan di dalam negeri.
Dia menjelaskan smelter nikel yang ada di Indonesia hanya bisa menyerap bijih berkadar 2% ke atas. Smelter yang sedang dibangun pun bukan untuk spesifikasi bijih berkadar rendah. Kuota ekspor yang akan diberikan untuk komoditas ini, menurut rencana, sekitar 10-15 juta ton per tahun.
“Smelter di Indonesia hanya dapat mengambil nikel yang kandungannya di atas 2%. Padahal, untuk mengambil yang 2% itu akan tertambang juga yang 1,5% sampai 1,8%,” katanya di Kantor Kementerian ESDM, akhir pekan lalu.
Untuk bauksit, saat ini perkembangan smelter-nya jauh di bawah nikel. Tercatat baru PT Antam (Persero) Tbk. dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang sudah mampu memurnikan bauksit menjadi chemical grade alumina (CGA) dan smelter grade alumina (SGA). Itu pun dengan kemampuan produksi yang masih terbatas.
“Alasannya memang tidak bisa diolah di dalam negeri,” ujar Teguh.
Menurut dia, relaksasi ekspor tersebut hanya diberikan untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) yang sudah berkomitmen untuk membangun smelter. Sementara itu, bagi perusahaan kecil, diperbolehkan untuk melakukan kerja sama.
“Pak Menteri bilang agar ada regulasi yang ketat terkait monitoring pembangunannya. Misalnya, dalam enam bulan mereka tidak bangun apa-apa, ya disetop izin ekspornya.”
Terkait dengan kepercayaan investor smelter yang bisa runtuh akibat kebijakan tersebut, Teguh menyatakan hal itu sudah diperhitungkan. Dia pun tak khawatir dibukanya keran ekspor bijih nikel dan bauksit akan memukul harganya kian jatuh di pasar dunia.
Menanggapi rencana pemerintah membuka kembali keran ekspor mineral mentah tersebut, memunculkan reaksi keras dari Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).
Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menduga kebijakan relaksasi ekspor bijih nikel merupakan desakan dari tiga smelter di Jepang, yakni Hyuga Sumitomo, Pamco, dan Nippon Steel yang selama ini tidak mendapat pasokan dari Filipina akibat ditutupnya 20 tambang nikel di sana.
“Mereka mendesak Pemerintah Indonesia dan Antam untuk pasok ore kadar kurang dari 1,8% ke Jepang. Jenis nikel ini persis yang didapatkan dari Filipina,” ujarnya.
Raden Sukhyar, Ketua Indonesian Smelter & Mineral Processing Association (ISPA), menilai penghiliran mineral sebenarnya sudah berjalan dengan cukup pesat. Dia pun beranggapan apabila pemerintah sampai membuka kembali keran ekspor mineral mentah, hal tersebut merupakan sebuah langkah mundur.
//Konsekuensi Hukum//
Pakar hukum sumber daya alam Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengatakan apabila relaksasi itu dilakukan dengan dasar hukum PP, hal itu maka akan menyimpangi ketentuan UU Minerba.
“Untuk dapat dibatalkan atau dinyatakan bertentangan dengan UU Minerba, harus melalui putusan Mahkamah Agung,” katanya kepada Bisnis.
Dia melanjutkan, secara moral pemberian relaksasi untuk ekspor mineral mentah menunjukkan rendahnya ketaatan hukum pemerintah. Hal ini, menurutnya, merupakan contoh dan preseden buruk.
Ahmad Redi menilai, apabila pemerintah ingin aman memberikan relaksasi tersebut, maka instrumen yang tepat adalah melalui perubahan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
“Seharusnya LBP mendorong DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Minerba atau apabila ada kegentingan memaksa, maka penerbitan Perppu merupakan upaya terbaik,” ujarnya.
Keputusan pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, tampaknya sudah bulat. Pasalnya, Luhut telah menyiapkan draf perubahan keempat PP No. 23/2010 untuk segera di bahas di Kemenerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Kini, kita tinggal menunggu apakah mineral mentah bisa diekspor kembali atau tidak. Jika ya, terlalu jauh pemerintah mengambil langkah mundur.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.