Jakarta, Beritasatu.com - Puluhan pengusaha yang bergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bertemu dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan sejumlah anggota Komisi XI DPR RI seperti Maruarar Sirait dan Misbakhun, di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (29/8/2019). Kedatangan APNI untuk mengadukan nasibnya atas ketidakadilan aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Pengurus APNI yang hadir seperti Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey, Wakil Ketua APNI Antonius Setyadi, Kepala Biro Hukum APNI Firdaus dan sejumlah pengusaha lainnya.
Meidy menerangkan, para pengusaha APNI resah terkait rencana kebijakan pemerintah pusat yang akan menghentikan kebijakan ekspor bijih nikel. Para pengusaha tambang nikel lokal mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dengan berpatokan pada regulasi tersebut, APNI menyebutkan bahwa para anggotanya yang merupakan para pengusaha pertambangan nikel tengah membangun pabrik pemurnian atau smelter. Dan saat ini, anggotanya itu tengah gencar-gencarnya membangun smelter untuk mematuhi regulasi dari pemerintah pusat itu.
“Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah tersebut, saat ini pelaku usaha pertambangan nikel nasional sedang berlomba-lomba membangun pabrik pemurnian nikel (smelter), akan tetapi rata-rata hingga bulan Agustus 2019 ini baru mencapai progres 30 persen,” jelas Meidy.
Selain itu, APNI juga menjabarkan bahwa biaya proyek pembangunan smelter tersebut juga sudah menghabiskan dana yang tidak sedikit, yakni sekitar Rp 52 triliun. Namun ketika ada upaya pemerintah yang ingin menghentikan ekspor bijih nikel yang mereka tambang, jelas para pengusaha tambang lokal akan lebih dirugikan dengan kondisi itu.
“Jika Pemerintah mengeluarkan kebijakan akan menghentikan ekspor bijih nikel saat ini, maka dipastikan bahwa pembangunan 31 smelter tersebut akan terhenti tidak bisa dilanjutkan lagi karena kehabisan sumber pembiayaannya yang selama ini diperoleh dari hasil ekspor,” katanya.
Jika kebijakan tersebut dilakukan, jelas Meidy, APNI memastikan bahwa keuntungan jelas akan berpihak kepada para pelaku usaha tambang minerba dari asing. Apalagi tidak menggunakan surveyor dari dalam negeri sehingga bisa seenaknya menentukan harga bijih nikel hingga kualitas kadarnya tanpa patokan yang jelas.
Sementara Antonius menambahkan, bahwa harga bijih nikel lokal dengan harga ketika ekspor ternyata sangat besar selisihnya. Dan ketika kebijakan ekspor bijih nikel itu tetap dihentikan oleh pemerintah tidak seperti kebijakan yang dibuat pada tahun 2017 lalu itu, maka para pengusaha tambang lokal akan terancam gulung tikar, apalagi para pelaku tambang lokal yang sampai saat ini belum memiliki smelter itu.
“Dalam ketentuan ekspor bijih nikel, Pemerintah tetap berpedoman pada PP Nomor 1 tahun 2017 sampai dengan batas waktu yang ditentukan. Kami meminta agar pemerintah pusat memperketat pengawasan dan kontrol terhadap implementasi di lapangan, agar para pelaku usaha pertambangan yang memiliki smelter untuk mematuhi regulasi yang berlaku,” katanya.
Antonius juga meminta agar pemerintah menjamin kepastian hikum bagi para pelaku usaha pertambangan termasuk yang tengah dalam proses pembangunan smelter. Salah satunya adalah dengan tetap memberikan ijin ekspor terhadap bijih nikel seperti biasanya.
“Pemerintah dapat menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha yang sedang dalam proses pembangunan smelternya untuk menyelesaikan pembangunannya hingga selesai dengan tetap memberikan ijin ekspor bijih nikel sebagaimana kuota yang dimikilikinya hingga selesai pembangunan smelternya,” katanya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.