JAKARTA - Larangan ekspor bijih mineral yang dilaksanakan pada awal 2014 nampaknya tidak berjalan dengan baik. Larangan ekspor nikel dan bauksit yang belum diproses hingga 2017 bertujuan meningkatkan posisi Indonesia yang ujungnya menarik minat investor untuk berinvestasi di smelter di Indonesia.
Namun, investasi smelter baru belum melonjak menyusul larangan ekspor bijih mineral. Salah satu alasannya adalah karena aturan tersebut keluar tidak tepat waktu. Perusahaan komoditas, seperti raksasa Freeport, telah memotong investasi mereka karena penurunan harga komoditas global dan profitabilitas.
Contoh lainnya, sejak undang-undang tersebut diterapkan pada Januari 2014, ekspor bauksit telah merosot menuju nol dari sebelumnya USD1,3 miliar pada 2013. Jika hukum ini benar-benar diterapkan pada 2017, maka larangan ekspor bijih mineral akan merugikan Indonesia miliaran dolar AS.
"Saat ini, pemerintah hanya mempertimbangkan apakah akan menunda implementasi penuh dari hukum yang paling lambat dilakukan 2017 ini," kata Ekonom Oxford Economic untuk Asia, Bharti Bhargava, dalam surat elektroniknya.
Dia melanjutkan, sulit memang untuk merancang aturan sedemikian rupa sehingga mereka dapat merangsang kegiatan ekonomi yang diinginkan tanpa menyebabkan distorsi serius dan pemburu rente.
"Memang, mereka sangat menuntut dalam hal kapasitas administratif, sedangkan pengalaman internasional menunjukkan bahwa dalam prakteknya langkah-langkah kebijakan industri seperti yang ditujukan untuk menyesuaikan struktur ekonomi, seringkali gagal," jelas dia.
Menurutnya, dalam kasus Indonesia perkembangan terakhir menunjukkan bahwa larangan ekspor bijih mineral akan menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam ekspor menciptakan nilai tambah.
"Selain itu, larangan tersebut dapat merugikan nilai tambah di Indonesia, karena akan meningkatkan persepsi risiko investor karena berinvestasi di tengah ekonomi global yang tengah goyah," jelas dia.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.