Larangan Ekspor Tambang Tegaskan Visi Hilirisasi Pemerintah RI
Sikap konsisten pemerintah terhadap kebijakan larangan ekspor mineral mentah demi kesinambungan program hilirisasi patut diapresiasi mengingat sejumlah dampak positif yang dapat dipetik dari kebijakan tersebut.
Ketua Asosiasi Smelter Indonesia R Sukhyar mengatakan, larangan ekspor mineral mentah merupakan elemen vital bagi kesinambungan program hilirisasi. Pemerintah sudah sepatutnya konsisten menerapkan kebijakan larangan ekspor ore.
Sejauh ini sudah banyak kemajuan, terutama di komoditas nikel dan bauksit. Di sektor nikel, produksi smelter telah mencapai 217,500 ribu ton dan akan meningkat menjadi 363 ribu ton pada tahun depan.
“Bayangkan untuk bijih nikel saja dibutuhkan kurang lebih 28 juta ton. Pembukaan ekspor bahan mentah, kendati menggunakan skema bea keluar, tetap akan mengancam kesinambungan pasokan bahan mentah ke smelter. Jangan sampai kemajuan yang sudah dicapai ini malah menjadi mundur karena keinginan satu dua perusahaan. Perusahaan yang sudah membangun smelter di Indonesia lalu dimatikan lagi dengan kebijakan baru,” kata Sukhyar di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
Sukhyar menambahkan, pihaknya sangat menghargai langkah pemerintah yang menangguhkan relaksasi dan konsisten terhadap larangan ekspor. Sikap konsisten tersebut sangat mahal harganya mengingat sejumlah smelter bergantung dari kebijakan itu.
Beberapa smelter di luar negeri, seperti di Tiongkok bahkan saat ini sudah merelokasi pabriknya ke Indonesia karena kebijakan larangan ekspor. Hal ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk maju ke tahap industrialisasi pertambangan.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah menegaskan, kesinambungan program hilirisasi perlu dijaga karena merupakan bentuk konsistensi pemerintah dalam memberikan kepastian regulasi bagi semua pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Strategi pembangunan dalam memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat merupakan mandat konstitusi kepada pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pertambangan mineral salah satunya.
Arah positif ini harus terus dipertahankan, jangan sampai pemerintah kendur dalam menerapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah dan kewajiban membangun industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
“Jika ditarik ulur, sama saja pemerintah menciptakan ketidakadilan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang mengelola sumberdaya mineral di Indonesia,” imbuhnya.
Maryati menambahkan, kebijakan larangan ekspor sebagai bagian dari strategi hilirisasi sumberdaya mineral, yang diikuti oleh transparansi dan perbaikan tata kelola akan memberikan dampak positif bagi lingkungan. Paling tidak, hal tersebut dapat menahan laju eksploitasi besar-besaran sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Melalui konsistensi kebijakan hilirisasi yang diikuti dengan penataan pengelolaan pertambangan, lanjut dia, pemerintah akan dapat mengendalikan laju eksploitasi dan produksi sesuai dengan kebutuhan pasokan industri pengolahan (smelter) di dalam negeri.
“Tidak ada lagi kegiatan pertambangan yang membabi buta, tidak memperhatikan daya dukung dan keseimbangan lingkungan, serta tidak lagi menimbulkan konflik sosial karna minimnya konsultasi dan pemenuhan hak-hak masyarakat lingkar tambang,” tegasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.