Luhut Longgarkan Ekspor Tambang Mentah Hingga 2021
Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, telah memfinalisasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP 1/2014).
Dalam PP 1/2014, relaksasi ekspor konsentrat atau bahan tambang mentah dibatasi sampai 11 Januari 2017. Setelah itu hanya mineral atau bahan tambang yang telah melalui proses pemurnian yang boleh diekspor, tidak ada lagi ekspor konsentrat.
Melalui revisi aturan ini, Luhut memperpanjang relaksasi ekspor konsentrat antara 3 sampai 5 tahun sejak PP baru diberlakukan. Selama masa perpanjangan relaksasi ini, diharapkan perusahaan-perusahaan tambang dapat memenuhi kewajibannya melakukan hilirisasi mineral di dalam negeri dengan menyelesaikan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral).
"Kita baru finalisasikan mengenai revisi PP Nomor 1 Tahun 2014. Intinya berkeadilan, jangan sampai ada yang dirugikan, tapi tentu tidak semua sempurna. Misalnya kita akan memberi waktu 3-5 tahun untuk pembangunan smelter. 5 tahun itu maksimum, setelah 5 tahun tidak bangun akan kita cabut izin pertambangannya," kata Luhut, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (4/10/2016).
Perpanjangan selama 3-5 tahun tersebut dihitung sejak revisi atas PP 1/2014 resmi diberlakukan. Kemungkinan PP ini selesai pekan depan. Artinya, perpanjangan relaksasi dapat diberikan sampai 2021. "Lima tahun sejak aturan ini resmi diterbitkan. Realistisnya pekan depan karena nanti malam saya ke Jepang," ujarnya.
Dengan revisi PP 1/2014 ini, perusahaan tambang dalam negeri tetap bisa mengekspor konsentrat pasca 11 Januari 2017, meskipun Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) belum selesai direvisi. "Kalau pun revisi UU Minerba terlambat, dengan PP ini kita tetap bisa jalan," cetus Luhut.
Dia menjelaskan, perusahaan-perusahaan yang belum selesai membangun smelter bisa tetap mengekspor konsentrat dengan membayar bea keluar (BK) seperti sekarang.
BK yang baru akan disusun bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Prinsipnya sama, besar BK tergantung perkembangan smelter yang dibangun, semakin baik progres smelter maka semakin rendah BK yang harus dibayar. Hanya saja, relaksasi kali ini lebih luas, akan lebih banyak komoditas mineral yang bisa diekspor.
"Perusahaan-perusahaan yang sedang membangun smelter, itu kita berikan peluang relaksasi secara bertingkat sesuai progres pembangunan smelternya, dan diawasi. Dia harus membayar bea keluar yang akan kita terapkan bertingkat sesuai progres pembangunan smelter. Angkanya nanti kita susun bersama Kementerian Keuangan," dia menuturkan.
Tak hanya konsentrat saja, Luhut bahkan membuka kemungkinan pembukaan keran ekspor beberapa jenis mineral mentah, misalnya biji nikel dengan kadar rendah.
"Nikel yang kandungannya 1,8% ke bawah di dalam negeri tidak bisa diproses, mungkin kita pertimbangkan untuk diekspor," pungkasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.