Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim belum ada pembicaraan terkait adanya wacana tentang harga jual batas atas dan bawah untuk komoditas bijih nikel.
Wacana tersebut, sebelumnya dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan.
"Ada yang perlu dibenahi (tata niaga), kami juga tidak mau pengusaha yang smelter di sini itu semua yang atur harga, pemerintah yang akan atur harga itu, supaya pemilik-pemilik IUP tadi juga masok ke smelter sini dengan harga yang pantas," tutur Luhut, Jumat (23/8/2019).
"Nah, itu yang kami mau benahi, dan saya sudah bilang, eh kalian tidak boleh dong sampai 10 dolar beda harganya sama harga internasional," tambah Luhut.
Untuk itu, lanjut Luhut, contoh pembenahan aturannya bisa dengan mekanisme harga batas atas dan batas bawah.
"Iya bisa begitu, kami bikin mekanisme itu tentu bukan hal yang sulit," imbuh Luhut.
Namun, menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menuturkan, sampai saat ini belum ada pembicaraan terkait wacana penentuan harga batas atas dan bawah tersebut.
"Sekarang kondisinya itu masih belum ada pembicaraan," kata Bambang.
Ia pun belum mau berkomentar lebih jauh mengenai hal tersebut. Dirinya hanya menegaskan, sampai saat ini belum ada kepastian rencana untuk membahas persoalan harga tersebut.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey membeberkan keluhan para penambang nikel terkait soal tata niaga perdagangan komoditas ini.
Ia menuturkan, menyangkut soal harga jual. Jika dirunut, bisa dimulai dari pembeli domestik yang mayoritasnya meminta bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%. Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.
Tentunya, besaran kadar berpengaruh pada harga. Sebab, semakin tinggi kadar, tentu output yang dihasilkan juga tinggi, kemudian penjualan tinggi karena harganya juga tinggi. Pendapatan besar.
Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan tinggi kadar, HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut.
"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.
Dampaknya, ini berpengaruh pada harga jual bijih nikel yang didapatkan oleh pengusaha nasional, yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perolehan harga ekspor. Padahal bijih nikel yang dijual adalah yang berkadar tinggi.
"Harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," pungkas Meidy.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.