Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) ad interim, Luhut B Panjaitan mendorong revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahu 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) bisa diselesaikan akhir tahun ini.
Hal tesebut untuk memperjelas nasib ekspor konsentrat mineral mentah (ore) PT Freeport Indonesia. Saat ini, baik Pemerintah dan DPR masih mempersiapkan draf revisi UU Minerba. "Kita sepakati mau selesaikan tahun ini bersama RUU migas. kita sepakat Desember tahun ini selesai," kata Luhut dalam rapat kerja bersama Jomisi VII DPR RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2016).
Salah satu poin yang akan disampaikan Pemerintah dalam revisi tersebut yakni mengenai pemberian tambahan relaksasi untuk ekspor konsentrat bagi perusahaan minerba yang berkomitmen membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
"Jadi kalau pun nanti ada relaksasi akan sejalan dengan progres pembangunan smelter nanti," ujar dia.
Berdasarkan UU Minerba, ekspor mineral mentah dilarang sejak 2014 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Namun, pemerintah masih memberi kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter.
Relaksasi diberikan pemerintah hingga 2017 dengan payung hukum berupa revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dengan syarat pembangunan smelter harus sudah selesai. Namun sampai saat ini masih banyak yang belum menyelesaikan pembangunan smelter.
Tak hanya Freeport, relaksasi akan diberikan kepada semua perusahaan tambang yang telah mulai membangun smelter. Mereka akan diberi tenggat waktu tambahan untuk menyelesaikan pembangunan smelter.
Sambil menyelesaikan smelter, mereka diperbolehkan mengekspor mineral mentah. Freeport, Newmont, dan perusahaan-perusahaan tambang lain akan menikmati relaksasi ini.
"Kita tunggu apa yang diberikan oleh parlemen. Kami beri masukan, intinya kita tidak ingin revisi UU Minerba berlaku untuk 1-2 orang, tapi berlaku universal. Keadilan harus ada. Artinya kita jangan lihat Freeport, Newmont saja. Kita juga lihat industri-industri lain yang sudah mungkin membangun smelter 25%, 35%. Yang berhenti karena cash flow-nya. Nah dengan kita melihat secara adil, memberikan relaksasi ini, dalam tenggat waktu tertentu saya kira akan membuat kita juga bagus," terang dia
Menurut Luhut, relaksasi ini perlu diberikan karena molornya pembangunan smelter bukan hanya kesalahan perusahaan tambang. Pemerintah juga salah karena menutup keran ekspor mineral mentah tanpa persiapan matang. Selain itu, harga komoditas pertambang yang jatuh membuat keuangan perusahaan tambang menjadi terganggu, dan berakibat pada pembangunan smelter yang ikut macet.
"Karena ini (molornya smelter) juga bukan salah mereka, salah kita juga (pemerintah). Setelah keluar UU Minerba 2009 gak segera kita buat peraturan pelaksanaannya sehingga semua terlambat. Akibat keterlambatan ini terjadilah beberapa smelter yang bermasalah. sekarang kita ingin perbaiki, agar smelter bisa jalan," jelas dia.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.