Menaruh Asa di Industri Pertambangan untuk Dongkrak Devisa
Eksplorasi merupakan faktor yang paling fundamental di industri pertambangan. Sebab, tidak akan ada kegiatan penambangan tanpa ada kegiatan eksplorasi. Agar investor tertarik melakukan investasi dan mengembangkan bisnis tambang di Indonesia, pemerintah seharusnya berbagi risiko dengan memberikan data eksplorasi yang baik, murah dan mudah diakses.
"Tanpa eksplorasi tentu tidak akan menemukan cadangan-cadangan baru. Namun yang perlu diperhatikan, kegiatan eksplorasi perlu melibatkan masyarakat. Karena itu penting dari aspek sustainability income dan operasional," tutur Arif Budimanta.
Industri minerba dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi harus memenuhi kewajiban membangun smelter untuk meningkatkan nilai jual produk dari sumber daya alam Indonesia dalam rangka menambah pemasukan negara. Di sisi lain, momentum kenaikan harga minerba di pasar dunia harus dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan dalam rangka peningkatan investasi di masa depan.
Dari data London Metal Exchange (LME) hingga Semester I 2018, harga nikel rata-rata mencapai USD14.900 per metrik ton, tumbuh 16,7% sejak Januari 2018 dengan posisi tertinggi USD15.750 per metrik ton pada awal Juni 2018. Sedangkan harga batubara sempat menembus nilai tertinggi dalam kurun enam tahun terakhir yakni USD116,6 per metrik ton pada Juli 2018. Sementara harga emas berada di level USD1.236-USD 1.300 per ounce.
Momentum tersebut tidak bisa dimaksimalkan oleh industri minerba karena hasil dari smelter yang dibangun tidak bisa langsung dinikmati. Hal ini terbukti dari kinerja emiten-emiten pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melaporkan kinerja kurang impresif di tengah lonjakan harga produk hasil tambang. Meskipun ada kenaikan penjualan, namun tak sebesar periode sebelumnya.
Kendala lain yang dihadapi oleh industri minerba yakni infrastruktur pendukung pembangunan smelter yang tidak memadai. Seperti listrik, kereta api, jalan dan pelabuhan untuk mendukung fasilitas pengolahan hilir di banyak wilayah. Alhasil, industri minerba perlu mengeluarkan dana lebih untuk membangun infrastruktur pendukung, yang terkadang di beberapa wilayah tidak layak secara keekonomian.
"Konsep hilirisasi yang selama ini diterapkan pemerintah menurut saya kurang pas dari aspek bisnis," tegas Budi Santoso. Alasannya, banyak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan area penambangan yang tidak besar kesulitan untuk membangun smelter karena kekurangan dana untuk melakukan investasi pembangunan smelter.
Seharusnya, kata Budi, pemerintah melakukan identifikasi berapa besar kebutuhan produk mineral di dalam negeri, juga berapa besar potensi ekspornya. Sehingga, pembangunan smelter akan lebih efisien. "Jangan seperti petani kapas lalu diwajibkan membangun pabrik kain. Ini tentu tidak memberikan dampak positif bagi pemerintah maupun industri," ungkap Budi.
Selain itu, perlu ada kebijakan yang mendorong kolaborasi antara industri pertambangan dengan industri yang menbutuhkan produk-produk pertambangan sebagai bahan baku. Misalnya, mensinergikan pertambangan bijih besi dengan perusahaan produsen baja. Sehingga proses hilirisasi memberikan nilai tambah bagi semua pihak. "Hilirisasi jangan hanya berhenti sampai pada smelter, tapi juga produk akhir. Itu akan memberikan nilai tambah yang lebih besar lagi," paparnya.
Untuk menutup defisit neraca pedagangan dan meningkatkan devisa negara, dalam jangka pendek, kebijakan membuka keran ekspor produk mentah minerba dinilai cocok. "Sembari melakukan penataan kembali kebijakan dan yang paling penting masalah tumpang tindih lahan harus diperhatikan. Pemerintah harus turun tangan terkait permasalahan yang dihadapi industri, jangan industri diminta selesaikan sendiri," paparnya.
Budi juga menyoroti kebijakan relaksasi ekspor yang diterapkan pemerintah. Sebab di satu sisi bisa meningkatkan ekspor minerba, namun di sisi lain membuat industri yang sudah mengembangkan smelter menghadapi masalah baru.
"Jadi konsep hilirisasinya ini yang harus di evaluasi. Termasuk terkait perizinan di daerah dan perizinan lainnya, agar industri minerba terus tumbuh dan memberikan sumbangan yang besar bagi negara," tuturnya.
Meskipun kebijakan mengembangkan sektor hilir memiliki niat baik agar bernilai tambah bagi negara, namun waktunya dinilai tidak tepat. Sebab permintaan global saat ini untuk beberapa produk mineral cukup tinggi. Dampak dari peraturan hilirisasi itu, beberapa penambangan mineral berskala kecil telah menghentikan operasi.
Sementara, beberapa perusahaan tambang skala besar mengurangi kegiatan produksi. Hal ini tidak hanya berdampak pada penambang itu sendiri, tetapi memiliki dampak yang signifikan terhadap pendapatan ekspor, pajak, dan royalti, serta perkembangan ekonomi domestik. "Resources kita di sektor minerba itu sangat besar, karenanya agar pendapatan negara meningkat perlu ada kebijakan yang tepat," tegas Budi.
Pendapat berbeda diungkapkan mantan Menteri ESDM Sudirman Said. Kebijakan hilirisasi akan memberikan nilai tambah yang besar bagi negara. "Memang butuh proses dan harus konsisten, karena nilai tambahnya besar," tegas Sudirman kepada SINDOnews.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.