Harga minyak mentah dunia yang berada dalam tren penurunan membuat indeks sektor tambang rontok pada pekan perdagangan terakhir sebelum libur Lebaran atau pada perdagangan 19-22 Juni 2017.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukan, indeks sektor tambang turun 0,1 persen menjadi 1.404,809 dari sebelumnya yang menguat 0,95 persen di level 1.406,187.
Meski penurunannya tipis, tetapi tambang menjadi satu-satunya sektor yang bergerak melemah di antara sembilan sektor lainnya yang mengalami penguatan.
Memang, harga minyak mentah dunia terpantau belum mengalami kenaikan kembali sejak perdagangan awal Juni. Bila mengacu pada WTI crude oil Nymex, harga minyak mentah dunia berada di level US$48,19 per barel pada 6 Juni 2017.
Setelah itu, harga minyak terus turun dan ditutup di level US$42,74 per barel pada akhir perdagangan sebelum libur panjang tersebut.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee berpendapat, penurunan harga minyak mentah dunia beberapa pekan terakhir karena adanya kelebihan pasokan (oversupply). Sementara, permintaan (demand) terhadap minyak mentah terbilang stagnan.
"Jadi memang produksi di Nigeria dan Libya naik, lalu ada kekhawatiran berlebih terhadap potensi minyak ke depan," ujar Hans Kwee kepada CNNIndonesia.com, dikutip Senin (3/7).
Bahkan, tak hanya indeks sektor tambang yang terkena dampak negatif dari turunnya harga minyak mentah dunia. Hans menyebut, pergerakan indeks global juga ikut terkontaminasi.
Sebagai gambaran, indeks Dow Jones dan S&P500 di bursa saham Wall Street mengalami koreksi bila diakumulasi sepanjang pekan sebelum libur panjang pasar modal Indonesia.
Dow Jones dan S&P500 masing-masing melemah 0,61 persen dan 0,77 persen ke level 21.397,29 dan 2.434,50. Kemudian, Eurostoxx di bursa Eropa turun 0,66 persen di level 3.555,76.
Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menjelaskan, koreksi yang dialami sektor tambang juga dipengaruhi oleh penguatan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap beberapa mata uang negara lain setelah The Fed menaikan tingkat suku bunga acuan 25 basis poin sejak 15 Juni lalu.
"Kalau tingkat suku bunga naik, tentu nilai tukar dolar AS menguat," terang Reza.
Dengan begitu, harga sejumlah komoditas otomatis turun. Hal ini disebabkan, harga komoditas selalu berbanding terbalik dengan pergerakan valuta asing (valas). Dengan kata lain, sentimen penurunan indeks sektor tambang lebih disebabkan kondisi makro ekonomi.
"Kondisinya tidak ada sentimen individual untuk sektor tambang, tapi lebih ke makro terkait dengan pergerakan dolar AS," jelas Reza.
Tak berbeda jauh, Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang mengatakan, dengan kenaikan suku bunga The Fed, maka pelaku pasar telah mendapatkan kepastian yang sebelumnya ditunggu oleh pelaku pasar. Di tengah ketidakpastian, investasi emas menjadi pilihan utama pelaku pasar menampatkan dananya, dan begitu juga sebaliknya.
"Sekarang kan sudah jelas, sudah ada kepastian dengan suku bunga The Fed jadi emas turun," ungkap Edwin.
Ia menambahkan, semakin tinggi tingkat suku bunga maka harga emas juga akan semakin jatuh. Bila dicermati, harga emas memang mengalami tren penurunan sejak The Fed memberikan kepastian kenaikan suku bunga tersebut.
Terpantau, harga emas (Comex) per 15 Juni berada di level US$1.254,60 per ounce. Setelah itu, harga turun hingga ke level US$1.243,50 per ounce sebelum akhirnya pada 23 Juni lalu berhasil menanjak ke level US$1.256,40 per ounce.
Menurut Edwin, secara keseluruhan penurunan indeks sektor tambang disumbang oleh penurunan harga sejumlah komoditas. Ia menyebut, beberapa emiten tambang yang terkoreksi cukup dalam, diantaranya PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), dan PT Timah Tbk (TINS).
Dalam sepekan, Medco Energi tercatat turun hingga 9,12 persen ke level Rp2.290 per saham, diikuti penurunan saham Timah sebesar 5,19 persen di level Rp730 per saham, dan Vale Indonesia sebesar 2,37 persen di level Rp1.850 per saham.
Adapun, Edwin memaparkan, harga batu bara sendiri terbilang stabil beberapa pekan terakhir. Sehingga, dapat dikatakan batu bara penurunan indeks sektor tambang kali ini tidak disebabkan oleh harga batu bara.
"Jadi batu bara New Castle US$80 per metrik ton. Batu bara saja yang bertahan, jadi kalau jatuh dalam itu minyak, emas, nikel, dan timah," jelas Edwin. (gir)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.