Jakarta - Neraca Perdagangan Indonesia pada Juni 2019 tercatat surplus US$ 200 juta. Surplus terjadi karena nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor.
Namun, pemerintah tak bisa cepat berpuas diri. Karena, bila dicermati nilai ekspor RI masih mengalami penurunan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai ekspor Indonesia Juni 2019 mencapai US$ 11,78 miliar atau menurun 20,54% dibanding ekspor Mei 2019. Demikian juga jika dibanding Juni 2018 menurun 8,98%.
Tambang jadi salah satu sektor yang menyumbang penurunan ekspor yakni menjadi US$ 1,80 miliar. Turun 16,11% dari Mei 2019. Selain itu juga terpantau turun 28,92% dibanding periode yang sama tahun 2018.
Data Sucofindo mencatat ekspor timah asal Babel hingga Mei 2019 menurun menjadi sebanyak 26.000 metrik ton. Menurut Plt Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Babel, Rusbani, penurunan jumlah ekspor timah terjadi karena sebagian besar perusahaan smelter swasta tak bisa memenuhi syarat Competent Person Indonesia (CPI) yang ditetapkan pemerintah.
Lantaran tak mengantongi persyaratan CPI itu, smelter swasta di lokasi pertambangan timah tersebut tak bisa melakukan ekspor.
"Sebenarnya tidak ada larangan ekspor sama sekali, hanya saja terkait regulasi ekspor timah yang begitu ketat sehingga pengusaha smelter swasta tidak dapat melakukan ekspor. Hanya PT Timah Tbk yang memiliki CPI. Swasta lain belum ada," tutur dia, akhir pekan lalu.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, melihat fenomena tersebut, sebenarnya kebijakan pemerintah sudah tepat dengan memberlakukan syarat CPI.
Syarat CPI yang dimaksud tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 33/M-Dag/PER/ 5/2015 yang pada intinya membatasi ekspor dari tambang ilegal. Selain brisiko merusak lingkungan, ekspor timah dari tambang ilegal berpotensi menimbulkan kerugian negara lantaran timah yang diekspor tak terdaftar dan tak membayar royalti ke pemerintah.
"Kepentingan negara kan harus tetap dijaga juga. Jangan sampai bijih timah berasal dari tambang ilegal. Ini yang harus kita sadari bersama," ujarnya.
Baca juga: Tak Bawa Pulang Devisa Pengusaha Didenda, Efektif Nggak?
Justru ia menyarankan kepada pengusaha swasta untuk mengikuti aturan tersebut agar bisa kembali melakukan ekspor.
"Penuhi saja persyaratannya, maka ekspor akan kembali normal. Saat pengusaha swasta sudah mematuhi aturannya, saya kira ekspor akan kembali seperti semula. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," tutur dia.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.