JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, akan mengikuti keputusan mengenai tarif bea keluar ekspor konsentrat. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri.
Beleid tersebut menyebutkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus membayar bea keluar maksimum sebesar 10 persen. Sebelumnya, tarif bea keluar ekspor konsentrat hanya dikenakan sebesar lima persen.
Sri mengatakan, kenaikan tarif bea keluar tersebut sesuai dengan misi pemerintah agar ada kegiatan pemurnian mineral tambang atau smelter. "Kami akan laksanakan sesuai dengan apa yang disampaikan Menteri ESDM," ujar Sri di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (13/1).
Sri mengatakan, akan mengeluarkan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk melengkapi penerapan bea keluar ekspor konsentrat. Dia berjanji menerbitkan peraturan tersebut secepatnya.
"Yang dilakukan oleh Pak Menteri ESDM akan kami tuangkan dalam PMK untuk pelaksanaannya," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan melonggarkan ekspor konsentrat dengan aturan main yang jauh lebih ketat. Izin ekspor konsentrat hanya diberikan kepada pelaku usaha pertambangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sedangkan, pemegang Kontrak Karya (KK), seperti PT Freeport Indonesia harus mengubah statusnya menjadi IUPK apabila ingin melanjutkan kegiatan ekspornya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, langkah pemerintah melonggarkan ekspor konsentrat karena investasi membangun fasilitas smelter tidak murah dan mudah. Nantinya, sejalan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara, pemerintah secara berkala akan mengecek perkembangan pembangunan smelter untuk setiap IUP dan IUPK.
"Investasi memang mahal. Itu sebabnya kelonggaran diberikan, tentu dengan adanya indikator setiap tahunnya," ujar Darmin. Darmin menambahkan, pembangunan smelter tidak bisa diselesaikan secara cepat. Paling tidak, kata dia, dibutuhkan waktu hingga lima tahun untuk merampungkan pembangunan smelter.
Meski ada pelonggaran atas izin ekpsor konsentrat, Darmin menegaskan, pemerintah akan terus memantau komitmen setiap pelaku usaha pertambangan untuk menyelesaikan smelter-nya. Intinya, lanjut Darmin, hanya pemegang IUP dan IUPK yang berhak mengajukan perpanjangan izin ekspor.
"Bedanya, kalau dulu, kalau tidak dibikin smelter langsung dicabut, tapi kenyataannya kita tidak juga mencabut izinnya," katanya.
Darmin menegaskan, setiap pemegang IUP dan IUPK harus melaksanakan divestasi sahamnya paling tidak 51 persen. Angka ini harus terwujud 10 tahun setelah masa produksi dimulai. "Kalau tidak ada komitmen tidak bisa. Mengekspor pun tidak bisa.
Penerbitan PP Nomor 1 Tahun 2017 bertujuan menjaga penerimaan negara dan terciptanya lapangan kerja. Selain itu, pemerintah ingin mempertahankan pertumbuhan ekonomi di daerah yang ada kegiatan pertambangan.
Juru bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan dampak aturan baru mengenai kegiatan pertambangan terhadap operasional perusahaan.
"Belum tahu apakah mengganggu atau tidak. Kami akan mempelajari berdasarkan kontrak karya, jadi nanti kita lihat dampaknya," tutur Riza saat ditemui wartawan di kantor Ditjen Minerba, Jakarta, Jumat (13/1).
Tim Freeport, kata Riza, sedang mengkaji poin yang mengatakan setiap perusahaan pemegang kontrak karya wajib merubah status ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika ingin mengekspor konsentrat. Freeport salah satu perusahaan tambang yang masih berstatus kontrak karya. "Bukan memberatkan sebenarnya, tapi kita mengkaji lebih dalam," ujarnya.
Mengenai divestasi saham sebesar 51 persen, Riza mengatakan, Freeport juga masih harus melakukan kajian. "Di peraturan sebelumnya hanya sampai 30 persen. Masih dikalkulasi ulang," ujarnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.