Di tengah penolakan masif terhadap kebijakan relaksasi ekspor Minerba Mentah, Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan.
Berdasarkan PP itu, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang memberikan kelonggaran (relaksasi) ekspor minerba mentah selama lima tahun ke depan terhitung sejak Januari 2017.
Wacana kebijakan relaksasi ekspor pertama kali dimunculkan oleh Menteri Luhut Binsar Panjaitan, yang saat itu bertindak sebagai Pelaksana Tugas Menteri ESDM.
Luhut berdalih bahwa tujuan relaksasi ekspor Minerba Mentah untuk kepentingan semua perusahaan pertambangan, termasuk Freeport dan Newmont.
Sejak Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri ESDM, wacana kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah sempat tenggelam, tetapi tiba-tiba muncul kembali di permukaan.
Tidak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo pun bersedia menandatangani berlakunya PP Nomor 1 tahun 2017, yang menjadi dasar kebijakan relaksasi ekspor Minerba Mentah. Padahal, komitmen Presiden Joko Widodo sebelumnya sangat mendukung pengolahan dan pemurnian minerba mentah di smelter dalam negeri.
Pada saat peresmian pabrik nikel di Morowali tahun lalu, Presiden Joko Widodo dengan sangat tegas mengatakan bahwa; “Indonesia jangan lagi mengekspor minerba mentah, tapi mari kita olah untuk menciptakan nilai tambah bagi bangsa Indonesia”.
Kenapa tiba-tiba komitmen Presiden Joko Widodo bisa berubah dengan mengeluarkan PP Nomor 1 tahun 2017, yang mengizinkan relaksasi ekspor minerba mentah?
Barangkali, perubahan komitmen Presiden Joko Widodo itu salah satunya disebabkan oleh tekanan perusahan tambang asing yang masif, sehingga Pemerintah Indonesia tidak berdaya untuk melarang ekspor minerba mentah, sesuai dengan amanah UU Nomor 4 Tahun 2009.
Sejak diberlakukan larangan ekspor minerba mentah pada 12 Januari 2014, banyak perusahaan tambang yang menolak.
Freeport dan Newmont menolak keras pemberlakuan larangan ekspor itu, sembari mengancam akan menghentikan produksi dan melakukan PHK puluhan ribu karyawannya.
Bahkan mereka mengancam untuk menggugat ke Arbitrase Internasional atas larangan ekspor minerba mentah, yang dituangkan secara sah dalam UU Nomor 4 Tahun 2009.
Tampaknya, upaya penolakan Freeport yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan telah membuahkan hasil dengan dikeluarnya kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah, melalui PP dan Permen ESDM.
DAMPAK RELAKSASI EKSPOR
Kendati penolakan publik terhadap kebijakan sudah membahana, pemerintah tetap saja memberikan relaksasi ekspor minerba mentah lima tahun ke depan.
Ada beberapa alasan penolakan terhadap kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah. Pertama, kebijakan relaksasi ekspor berdasarkan PP dan Permen ESDM nyata-nyata telah melabrak Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 4/2009, serta Keputusan Mahkamah Konsitutusi tetang pelarangan ekspor Minerba Mentah tanpa di olah dan dimurnikan di smelter dalam negeri. Dampaknya, kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah yang melangar peraturan perundangan di atasnya akan menjadi preseden buruk bagi penerapan peraturan perundangan di Indonesia.
Kedua, sudah lebih 70 tahun lamanya kekayaan alam yang dikandung Ibu Pertiwi dikeruk secara besar-besaran oleh perusahaan pertambangan asing. Hasil pengerukan kekayaan alam tersebut lebih menguntungkan bagi perusahaan asing ketimbang bagi bangsa Indonesia. Nilai tambah ekspor minerba mentah yang dinikmati bangsa ini teramat rendah.
Hasil penelitian Kementerian ESDM (2012) menunjukan bahwa ada peningkatan yang mencapai 139,23 kali lipat nilai tambah yang dihasilkan jika minerba mentah diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri. Hasil penelitian LPEM Universitas Indonesia (2016) juga menjukkan bahwa pengolahan minerba mentah di smelter Kalimantan Barat telah meningkatkan kesempatan lapangan pekerjaan yang signifikan bagi masyarakat di sekitarnya.
Ketiga, relaksasi ekspor minerba mentah telah merugikan bagi investor yang sudah terlanjur membangun smelter di Indonesia.
Menurut Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), sejak 2012 sudah ada 27 smelter yang telah selesai di bangun dengan total nilai investasi sebesar US$12 miliar. Kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah tidak hanya memukul investor smelter, tetapi juga menciptakan iklim investasi smelter di Indonesia semakin tidak kondusif.
Dalam kondisi tersebut, ke depan tidak akan ada lagi investor yang tertarik dan bersedia melakukan investasi untuk membangun smelter di Indonesia. Dampaknya, hasil tambang Indonesia selamanya akan diekspor dalam bentuk minerba mentah, dengan nilai tambah rendah.
Berhubung PP Nomor 1 tahun 2017 dan Permen Nomor 5 tahun 2017 tentang kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah nyata-nyata bertentangan dengan struktur perundangan di atasnya, menurunkan nilai tambah hasil tambang, dan menciptakan iklim investasi smelter semakin tidak kondusif, Presiden Joko Widodo diharapkan dengan arif untuk meninjau kembali kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah.
Upaya peninjauan kembali tersebut utamanya untuk bisa lebih memanfatkan hasil tambang bagi sebesarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanah konstitusi dan Nawacita, bukan bagi kemakmuran perusahaan tambang asing, bukan pula bagi kemakmuran komparador pemburu rente.
*) Fahmy Radhi, Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.