a a a a a
News Update Mineral Nonlogam, Potensi Tinggi Minim Hilirisasi
News

Mineral Nonlogam, Potensi Tinggi Minim Hilirisasi

Mineral Nonlogam, Potensi Tinggi Minim Hilirisasi
JAKARTA – Optimalisasi ekspor mineral bukan logam masih jauh panggang dari api. Dengan alasan eksploitasi mineral nonlogam di Indonesia belum optimal, pemerintah sampai saat ini tampak lebih fokus pada pengembangan komoditas tambang lainnya.

Dampaknya, meski Indonesia memiliki potensi sumber daya yang besar, arus impor produk mineral nonlogam justru memperlihatkan gejala peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 yang diolah Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) memperlihatkan, peningkatan impor pada sejumlah produk mineral nonlogam.

Salah satunya belerang. Pada periode Januari–Oktober 2018, Indonesia mengimpor belerang senilai US$108.806.002, atau meningkat 12,66% dari tahun sebelumnya yakni US$82.537.532. Begitu pula kalsium fosfat alam yang nilai impornya mencapai US$186.270.044, melonjak 21,67% dari tahun sebelumnya senilai US$164.992.825.

Kemudian, berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), hingga kuartal III tahun 2018, nilai impor juga keramik melonjak menjadi US$503,92 juta, dari tahun 2017 yang bernilai US$438,82 juta. Miris, peningkatan impor keramik ini justru harus terjadi di negeri yang kaya akan kandungan bahan baku keramik, yakni zirkon.

Indonesia sebenarnya sudah bisa mengekspor zirkon. Merujuk data BPS olahan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, ekspor zirkon Indonesia selama Januari–Oktober 2018 melonjak menjadi US$60.027.235 dari US$23.996.534 pada tahun sebelumnya. Oleh karenanya, dengan mengimpor keramik, Indonesia ibaratnya membeli nasi hasil dari beras yang ditanam sendiri.

Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan mengakui besarnya potensi bahan galian mineral bukan logam yang dimiliki Indonesia. Tapi karena beberapa hambatan dalam industri pengolahan, impor bahan galian bukan logam akhirnya tetap tumbuh.

“Selama ini banyak dari kita menggali lalu langsung dijual tanpa diolah menjadi produk nilai tambah,” ujar Oke Nurwan saat ditemui Validnews, Rabu (9/1).

Permasalahan lainnya karena industri tambang masih terbatas pada galian murni. Investasi di sektor galian bukan logam katanya juga masih kecil. Kebanyakan yang terlibat di sektor galian bukan logam masih kategori pengusaha kecil.

Komoditas Primer
Kemudian, teknologi pengolahan belum berkembang sehingga sulit bersaing dengan produk impor. Sumber daya manusia untuk galian bukan logam juga lemah. Ditambah lagi, dukungan pembiayaan dari perbankan masih minim.

Ekspor produk mineral bukan logam dari tahun 2013-2017 sejatinya mengalami peningkatan 2,62%. Situasi terakhir bahkan menyebutkan, nilai ekspor periode Januari–Oktober 2018 tercatat US$80.872.971 dan mengalami peningkatan signifikan sebesar 113,43% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar US$37.892.424.

“Ini terjadi karena ada perubahan pengelolaan di hulu (ESDM),” sebut Oke.

Oke menyebutkan, dominasi ekspor Indonesia memang masih pada tingkat komoditas primer, termasuk di sektor pertambangan. Sementara produk manufakturnya masih sedikit.

Untuk itulah, sejak tahun 2014 pemerintah berusaha mendorong hilirisasi industri. Harapan sederhana, agar tidak lagi hanya produk mentah yang diekspor. “Jangan hanya ekspor bauksit, eksporlah alumina, kalau bisa alumunium,” cetusnya.

Bicara soal tujuan ekspor, hasil produksi mineral bukan logam sendiri mayoritas diekspor ke China. Sayangnya, Oke menyampaikan, ekspor produk mineral bukan logam belumlah menjadi prioritas lantaran kontribusinya kepada negara masih kecil.

Tak heran, selama ekploitasi mineral bukan logam di Indonesia belum optimal, pemerintah akan lebih fokus pada ekplorasi tambang yang lebih strategis. Di sisi lain, demi industri produk bukan logam bisa berkembang di dalam negeri, pemerintah menelurkan kebijakan untuk menahan produk mentah. Contohnya marmer yang lebih ditujukan buat produksi dalam negeri.

Oke berharap, ekspor mineral nonlogam yang kecil ini dapat dimanfaatkan oleh industri dalam negeri untuk diolah, kemudian baik dijual di dalam negeri maupun untuk ekspor. Namun sejauh ini, satu-satu yang coba digalakkan Kemendag hanyalah komoditas aspal Buton.

“Kami tidak mengaturnya, selama mau diekspor ya silahkan. Tapi lucunya tidak ada yang ekspor,” akunya.

Butuh Teknologi
Terkait upaya peningkatan nilai tambah, Kemendag akhirnya mengupayakan kebijakan penerapan bea keluar untuk hilirisasi. Contohnya sawit yang dikenakan pajak tinggi untuk produk barang mentahnya. Sedangkan produk yang telah melalui pengolahan dikenakan bea yang lebih rendah.

Dengan kebijakan ini diharapkan pengusaha membangun smelter (pengolahan) agar bisa mengekspor produk bernilai tambah. Sayang untuk produk bukan logam, pembangunan smelter mungkin masih jauh dari harapan.

Menurut Oke masih banyak pengusaha yang mengekspor produk mentah. Hal ini disebabkan biaya investasi untuk smelter terbilang tinggi sehingga butuh bantuan dari pihak investor.

“Jadi untuk memproduksi barang olahan walaupun nilainya tinggi, tapi modalnya juga besar,” ujarnya.

Dalam Pasal 170 Undang-Undang Minerba, perusahaan tambang memang diwajibkan melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian. Sebagai tindak lanjutnya, perusahaan diwajibkan memiliki pabrik pemurnian atau smelter. Tujuan dari pengolahan dan pemurnian mineral adalah untuk meningkatkan nilai tambah komoditas.

“Jadi memang ada namanya insentif bagi mereka yang akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Sambil membangun itu konsentrat atau bahan mentahnya tidak bisa dijual,” ungkap Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Dirjen Minerba Kementerian ESDM Yunus Saefulhak kepada Validnews, Jumat (4/1).

Dengan demikian, yang boleh diekspor adalah produk olahan dari komoditas tersebut dengan harapan nilai jualnya dapat meningkat. Maunya negara, hasil dari industri pertambangan idealnya tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi menambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Untuk meningkatkan devisa, kita juga harus ekspor. Dalam artian yang diekspor adalah semennya, bukan batu gampingnya,” kata Yunus.

Terkait kegiatan ekspor, Yunus mengatakan ESDM berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan sejumlah pemangku kebijakan terkait lainnya.

“Tugas ESDM adalah memastikan jumlah ekspor itu harus sesuai dengan rencana kerja anggaran biayanya, kemudian juga sesuai dengan cadangannya, sehingga jangan jor-joran diekspor,” lanjutnya.

Tanpa Target
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki keuntungan komparatif dalam sektor sumber daya mineral bukan logam. Ini lantaran potensi untuk mengekspor cadangan sumber daya yang telah tersedia cukup besar.

Akan tetapi menurutnya, keuntungan komparatif tersebut masih perlu dioptimalkan. Karenanya, Latief menyarankan, pemerintah mulai memperhatikan pemanfaatan dari produksi dari sumber daya mineral bukan logam yang akan diekspor dengan membuat target.

“Katakanlah kita saat ini 100% mengekspor batu gamping dalam bentuk mineral mentah, mungkin secara bertahap nanti komposisinya diubah menjadi 90% saja dan 10 %nya dalam bentuk olahan,” kata Latief kepada Validnews, Rabu (9/1).

Sejauh ini, lanjutnya, pemanfaatan dari produksi sumber daya mineral bukan logam di Indonesia memang masih dalam bentuk bahan mentah. Padahal hal tersebut dapat membuat nilai ekspor dari produk tersebut menjadi tidak signifikan.

“Misalnya dibandingkan dengan batu bara, nilai nominal ekspor batu gamping tidak cukup signifikan, karena ekspor untuk komoditas tersebut masih dalam bentuk mentah,” katanya.

Oleh karena itu, Latief juga berharap agar pemerintah turut mendorong partisipasi pengusaha swasta, supaya tidak mengekspor batu gamping dalam bentuk mentah. Pemerintah dapat meminta mereka untuk mengolah terlebih dahulu sebelum diekspor sehingga meningkatkan nilai jual dari produk sumber daya mineral bukan logam di Indonesia

Terlebih, adanya tahapan pengolahan tersebut juga dapat memberikan manfaat lainnya. Latief menyebutkan, tahapan pengolahan ini dapat menyuburkan industri pengolahan sumber daya mineral bukan logam di Indonesia.

Dengan munculnya industri baru tersebut, kata Latif, ujungnya kesempatan kerja baru bagi masyarakat jadi terbuka. “Secara otomatis, kita juga bisa menciptakan kesempatan kerja, misalnya melalui industri pengolahan batu gamping,” paparnya.

Pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Sutijo pun turun rembuk. Menurutnya, permasalahan mineral bukan logam saat ini cukup banyak. Selain harganya yang murah di tempat asalnya, banyak perizinan banyak biaya tidak jelas, termasuk soal pungutan liar.

"Begitu sampai lokasi harga jadi mahal, inilah yang mengakibatkan pengusaha berat untuk ekspor,” papar Budi kepada Validnews, Kamis (10/1).

Untuk meningkatkan ekspor produk nonlogam, ia menyebut, hal pertama yang dilakukan adalah memangkas ongkosnya. Regulasi dari pemerintah soal pungli sendiri sebenarnya memang sudah ada. Sayangnya, hal tersebut kerap masih sebatas di atas kertas.

Di lapangan, masih terjadi pungutan liar yang susah diberantas. Salah satu contohnya terjadi di daerah daerah Rumpin, Jawa Barat.

Ironisnya, pengusaha lokal makin terjepit dengan banjirnya produk impor dari China. Minimnya pungutan yang tak jelas dari produk impor, membuat harganya jauh lebih murah daripada produk dalam negeri. (George William Piri, Elisabet Hasibuan, Dana Pratiwi)

Latest News

PLN Siap Pasok Smelter Antam Hingga 30 Tahun PLN Siap Pasok Smelter Antam Hingga 30 Tahun
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PLN Pasok Listrik ke Pabrik Smelter Antam Selama 30 Tahun ke DepanPLN Pasok Listrik ke Pabrik Smelter Antam Selama 30 Tahun ke Depan
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Smelter Feronikel Baru Antam ANTM di Halmahera Timur Bakal Dipasok Listrik dari PLNSmelter Feronikel Baru Antam (ANTM) di Halmahera Timur Bakal Dipasok Listrik dari PLN
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Member PT Hengtai Yuan
Member PT Indotama Ferro Alloys
Member PT Smelting
Member PT Bintang Smelter Indonesia
Member PT Meratus Jaya Iron  Steel
Member PT Cahaya Modern Metal Industri
Member PT Delta Prima Steel
Member PT karyatama Konawe Utara
Member PT Refined Bangka Tin
Member PT Central Omega Resources Indonesia
Member PT Kasmaji Inti Utama
Member PT Monokem Surya
Member PT Tinindo Internusa
Member PT Macika Mineral Industri
Member PT Indra Eramulti Logam Industri
Member PT Indonesia Weda Bay Industrial Park
Member PT AMMAN MINERAL INDUSTRI AMIN
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
Switch to Desktop Version
Copyright © 2015 - AP3I.or.id All Rights Reserved.
Jasa Pembuatan Website by IKT