Ada fenomena unik dalam diskursus kebijakan pembelian saham divestasi PT Freeport Indonesia (Freeport) oleh PT Inalum. Yakni, isu hukum bahwa Pemerintah Indonesia tidak punya pilihan selain tetap memperpanjang operasi Freeport pasca-berakhirnya Kontrak Karya (KK) tahun 2021.
Momok yang menakutkan itu adalah ancaman Freeport Mcmoran (FCX) akan menyeret Pemerintah Indonesia ke lembaga arbitrase internasional dan kepastian kalah, apabila pemerintah tidak melanjutkan operasi Freeport. Ini membuat Pemerintah mau tidak mau, suka tidak suka, harus bertekuk lutut melanjutkan operasi tambang Freeport sampai tahun 2041. Lalu dipilihlah opsi memperpanjang, namun pemerintah menjadi pengendali melalui kepemilikan saham 51% oleh Inalum.
Pemerintah Indonesia dengan FCX telah sepakat melakukan divestasi saham, seperti tertuang di Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) Kontrak Karya (KK). Skemanya, FCX mendivestasikan sahamnya sejak tahun ke-10 penandatanganan KK, yaitu pada 2001 sebesar 2,5% dan terakhir pada 2011 sebesar 25%, dan mencapai 51% pada tahun ke-20 (tanggal 30 Desember 2011).
Namun, Pasal 24 ayat (2) huruf d KK menyatakan bahwa jika setelah persetujuan KK ada peraturan yang mengatur ketentuan divestasi saham yang lebih ringan, ketentuan yang lebih ringan inilah yang berlaku. Lalu terbitlah PP No 20/1994 yang di dalam PP itu tidak mengatur besaran kewajiban divestasi saham. FCX berpandangan bahwa dengan kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham Freeport sebesar 9,36%, kewajiban divestasi telah tunai.
Padahal, sejatinya secara filosofis kepemilikan saham mayoritas bagi Indonesia, merupakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Dengan adanya kepemilikan saham mayoritas, maka akan terjadi peralihan pengendalian dan peralihan manfaat dari perusahaan asing kepada Pemerintah Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketika FCX tidak ada pilihan untuk tidak mendivestasikan sahamnya karena menyangkut masa operasi yang sudah di ujung tanduk, divestasi pun dilakukan. Divestasi ini pun, sangat menguntungkan bagi FCX. Operasi Freeport akan berlanjut sampai tahun 2041 dan FCX tetap menjadi operator, walau Inalum menguasai saham mayoritas Freeport.
Di sisi lain, Inalum harus utang ke perbankan asing untuk membayar pembelian saham sebesar US$ 3,85 miliar untuk sebuah usaha tambang yang kontraknya akan berakhir kurang dari 3 tahun. Membeli porsi kepemilikan asing, dengan dana asing, dan sebentar lagi menjadi milik kita.
Hasil penjualan saham ini, tidak hanya dinikmati FCX. Ada Rio Tinto yang memiliki hak partisipasi sebesar 40% atas operasi Freeport. Hak ini harus dikonversi menjadi saham sebagai upaya pemerintah memiliki saham 51%. Padahal kehadiran Rio Tinto tidak memenuhi konstruksi hukum perjanjian dalam KK.
Hubungan hukum soal divestasi saham yang dibangun di KK hanya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport. Bila ada pihak lain yang juga terlibat, memiliki hak operasi yang kemudian dikonversi menjadi saham, jelas ini bentuk penyimpangan terhadap KK.
Pemerintah seolah tak punya pilihan lain, kecuali membeli saham divestasi Freeport, termasuk konversi dari Rio Tinto. Seolah-olah, Pemerintah Indonesia ikut apa maunya FCX.
Lihat saja. Undang-undang di Indonesia mewajibkan pembangunan smelter dan perolehan Izin Usaha Pertambangan Khusus, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pinjam Pakai Kawasan Hutan, kepatuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tapi, Freeport tidak mau tunduk. Kewajiban yang jadi beban Freeport di masa lalu ini, mau tidak mau menyeret tanggung jawab Inalum sebagai pemegang saham mayoritasnya.
Opsi lain seperti tidak memperpanjang operasi Freeport pasca-tahun 2021 tidak pernah muncul dari pemerintah. Opsi menugaskan Inalum untuk membeli aset Freeport yang memang dalam KK disepakati bahwa apabila operasi Freeport tidak dilanjutkan, asetnya dijual kepada pemerintah dengan harga minimal sebesar nilai buku Freeport, tidak secara serius dianalisis secara cost and benefit.
Berdasarkan laporan keuangan audited, nilainya sebesar US$ 6 miliar. Artinya, bila ingin utang sekalian saja menyiapkan US$ 6 miliar untuk membeli 100% saham Freeport, tanpa terbebani memperpanjang operasinya sampai tahun 2041. Seluruh kegiatan usaha eks-Freeport di sana dikuasai oleh negara sepenuhnya
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.