Nikel Berbalik Menguat Setelah Terdepresiasi Cukup Dalam
Bisnis.com, JAKARTA - Harga nikel berhasil berbalik menguat setelah terdepresiasi 6 perdagangan berturut-turut hingga menyentuh level terendahnya sejak perdagangan tiga bulan lalu.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (22/11/2019), harga nikel di bursa London bergerak menguat 0,97% menjadi US$14.642 per ton.
Adapun, sepanjang tahun berjalan 2019, harga nikel telah bergerak menguat signifikan 36,4% dari harga awal tahun ini di US$10.677,5 per ton akibat tekanan pasokan ditambah dengan larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia yang dimajukan dua tahun lebih awal.
Kendati demikian, dalam beberapa perdagangan terakhir penguatan harga nikel tidak lagi menggebu-gebu seperti yang terjadi pada perdagangan awal tahun ini. Hal tersebut dikarenakan proyeksi permintaan yang dalam tekanan akibat perang dagang AS dan China mengalahkan sentimen pasokan yang menipis.
Padahal pada akhir Oktober, harga nikel sempat mendapat dukungan setelah Indonesia memberlakukan pembatasan sementara pada ekspor bijih nikel menyusul peningkatan tiba-tiba dalam jumlah ekspor menjelang larangan ekspor yang akan resmi berlaku pada Januari 2020.
Harga nikel pun telah bergerak turun sekitar 12% sejak awal November, menuju penurunan bulanan terbesar dalam 4 tahun terakhir.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa berbalik menguatnya harga nikel disebabkan oleh perkembangan positif dari negosiasi dagang AS dan China menjelang realisasi penandatanganan kesepakatan tahap pertama.
“Presiden AS Donald Trump mengatakan tidak akan menandatangani RUU AS terkait Hong Kong yang sebelumnya membuat pasar pesimistis kesepakatan dagang AS dan China, meski parsial, akan benar terealisasi,” ujar Ibrahim saat dihubungi Bisnis, Senin (25/11/2019).
Namun, dia menilai penguatan tersebut hanya akan bersifat sementara mengingat permintaan nikel di akhir tahun umumnya melemah akibat musim dingin sehingga membuat permintaan dialihkan untuk membeli batu bara atau gas alam.
Selain itu, pergerakan nikel juga masih akan mengikuti setiap perkembangan berita negosiasi dagang AS dan China mengingat perang dagang adalah kunci utama penggerak semua harga komoditas.
Dia juga mengatakan bahwa Uni Eropa yang melaporkan Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor bijih nikel tidak akan mempengaruhi harga secara signifikan karena pasar akan fokus terhadap perkembangan negosiasi dagang AS dan China yang akan menentukan proyeksi permintaan nikel.
Oleh karena itu, dia memprediksi hingga akhir tahun harga nikel masih akan melandai dan harga nikel mungkin akan berakhir di kisaran US$14.700 per ton. FUNDAMENTAL MASIH KUAT
Sementara itu, untuk jangka panjang Research Associate Commodities di Angel Broking India Yash Sawant mengatakan bahwa fundamental nikel cukup kuat dengan kendala pasokan meningkat dari Indonesia dan Filipina, eksportir utama bijih nikel, sehingga harga masih berpotensi untuk menguat.
Larangan ekspor bijih nikel Indonesia akan sangat mempengaruhi rantai pasokan global karena Indonesia menyumbang sekitar seperempat dari pasokan tambang global atau sekitar 560.000 ton.
“Selain itu, meningkatnya permintaan dari stainless steel dan segmen kendaraan listrik juga akan sangat mendukung harga,” ujar Yash seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (24/11/2019).
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.