Partai Demokrat Tolak Lanjutkan Pembahasan RUU Minerba di Tengah Pandemi Corona
Sebanyak sembilan fraksi di Komisi VII DPR RI telah memberikan pandangannya terhadap Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Delapan dari sembilan partai memberikan persetujuannya agar RUU Minerba yang sudah dirumuskan panitia kerja (panja) segera dibahas di tingkat atas agar bisa dibawa ke rapat paripurna.
Hanya satu partai yang menolak memberikan persetujuan, yaitu Fraksi Partai Demokrat. Dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Menteri ESDM Arifin Tasrif mengenai Laporan Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba, Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat, Sartono Hutomo, mengatakan tak etis menyetujui draft RUU Minerba di tengah pandemi COVID-19.
Menurut dia, seharusnya DPR dan pemerintah fokus pada penanganan virus corona. Kata dia, sejak awal Demokrat memang menyatakan sikap tak menyetujui adanya pembahasan lanjutan revisi UU ini hingga masa tanggap darurat COVID-19 berakhir.
"Mempertimbangkan kondisi saat ini, di saat negara genting dan masyarakat menderita akibat COVID-19, rasanya kurang tepat apabila DPR RI membahas hal-hal lain di luar kaitannya dengan penanganan COVID-19. PD sejak awal konsisten untuk tidak ikut serta dalam pembahasan karena pandemi ini ini butuh perhatian ekstra. Jadi, kita fokus bantu rakyat karena banyak kurang sana-sini dalam penanganan," kata dia dalam rapat kerja secara online, Senin (11/5).
Menurut dia, seharusnya pemerintah lebih fokus menangani pemberian bantuan ke masyarakat seperti di sektor listrik, harga BBM, dan penyaluran LPG di wilayah yang benar-benar terdampak corona.
Sartono yang mewakili suara partainya mengatakan, draft terbaru RUU Minerba yang saat ini disodorkan pun masih banyak kekurangan yang harus diperhatikan DPR dan pemerintah. Poin-poin yang disoroti adalah perubahan nomenklatur yang membuat adanya pergeseran wewenang daerah secara signifikan pada pemerintah pusat. Lalu, pengaturan izin usaha pertambangan, penguatan rencana pengelolaan minerba, tata kelola pertambangan rakyat, dan mekanisme ekspor-impor.
Sartono menilai, draf RUU Minerba juga tidak mempertimbangkan soal dampak lingkungan. Partai Demokrat juga memandang adanya tumpang tindih aturan dalam RUU Minerba dan RUU Cipta Lapangan Kerja yang saat ini juga dikebut di DPR. Dia ingin, pengesahan RUU Minerba jangan terburu-buru karena harus mendengarkan lebih banyak suara masyarakat, termasuk polemik hilangnya pasal 165 tentang sanksi bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) IUPK, IPR.
Menurutnya, tumpang tindih antara RUU Minerba dan RUU Ciptaker karena sarat kepentingan dan mengabaikan aspek lingkungan. Di dalamnya juga sama-sama diatur usaha pertambangan dan investasi tambang di mana jika ada perusahaan melakukan pelanggaran pertambangan, solusinya cukup Peraturan Presiden. "Ini seolah-olah kedudukan Perpres lebih tinggi dari Undang-Undang. Berdasarkan catatan itu, PD menolak pembahasan dan pengambilan keputusan RUU Minerba untuk diteruskan di tingkat selanjutnya dan menunda hingga masa tanggap darurat berakhir," beber Sartono.
Adapun kedelapan fraksi lainnya yakni Partai Demokrat dan Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, hingga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) setuju RUU Minerba ini dibahas di tingkat atas dengan beberapa catatan.
Salah satunya PKS yang menilai poin tentang pembatasan luas wilayah perizinan pertambangan mineral dan batubara harus diatur secara tegas dalam RUU Minerba. Termasuk juga batasan luas wilayah perpanjangan IUP/IUPK maupun penyesuaian KK dan PKP2B yang habis masa kontraknya, harus menyesuaikan batas wilayah tersebut dan bukan berdasarkan pertimbangan atas perencanaan maupun luas wilayah yang mereka miliki sebelumnya, sebagaimana Pasal 83 dan 169A draft RUU Minerba yang sudah dibahas. "Hal ini sangat penting agar tidak terjadi penguasaan wilayah secara berlebihan oleh segelintir pihak yang dapat melanggar prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Anggota Komisi VII dari PKS, Mulyanto. Hingga kini, rapat kerja pemerintah dan Komisi VII masih berlangsung. Para anggota dewan masih berdebat pada beberapa poin seperti nilai tambah, divestasi 51 persen, hingga kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.