Pemerintah Cabut Izin Perusahaan Tambang yang tak Bangun Smelter
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 terkait izin usaha pertambangan yang merupakan revisi keempat dari PP Nomor 23 Tahun 2010 ini dikeluarkan pemerintah untuk bisa menertibkan persoalan hilirisasi di sektor tambang. Salah satu yang ditegaskan dalam peraturan tersebut adalah pencabutan izin usaha tambang perusahaan yang tak kunjung membangun smelter.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar mengatakan, kewajiban membangun smelter tersebut ditegaskan juga dengan diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.
Archandra menjelaskan, meski pemerintah membuka peluang ekspor biji mentah yang diatur dalam Permen ESDM Nomer 5 tahun 2017, pemerintah juga tak ingin kecolongan lagi. Dalam tiga aturan tersebut nantinya memuat klausul yang memperketat pengawasan pembangunan smelter.
Dalam PP Nomor 1 Tahun 2017 pasal 170, pemerintah menyatakan bahwa akan melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam pembangunan smelter. Hal ini ia nilai sebanding dengan kesempatan bagi para perusahaan tambang untuk ekspor bijih mentah. Archandra mengatakan nantinya para pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) diminta untuk membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
"Jika mereka tidak ada progres pembangunan selama enam bulan, maka kita bisa langsung cabut izinnya. Pemerintah akan mengawal pembangunan smelter tersebut dengan melakukan evaluasi setiap enam bulan sekali," ujar Archandra saat ditemui di Hotel JS Luwansa, akhir pekan lalu.
Kebijakan ini akhirnya diambil mengingat mandeknya proses ekspor konsentrat di Indonesia. Hal ini membuat beberapa perusahaan seperti Freeport harus menelan kerugian. Disatu sisi, pemerintah mengakui memiliki posisi yang cukup sulit dalam menelurkan kebijakan ini, karena jika memang ekspor biji mentah mau ditutup secara tegas, hal ini akan berdampak terhadap keberlangsungan pekerja di Freeport sana.
"Tapi pemerintah juga tidak ingin bahwa seolah olah takluk dengan perusahaan besar, karena opsi yang diberikan maka kita disatu sisi menekankan untuk para perusahaan tambang meningkatkan potensi hilirisasi," ujar Direktur Jendral Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Bambang Gatot.
Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama menegaskan, langkah Freeport ke depan ketika keran ekspor konsentrat kembali dibuka oleh pemerintah. Riza mengatakan, Freeport berkomitmen untuk membangun smelter sesuai arahan dari pemerintah. Ia mengatakan, biaya yang tak sedikit dalam membangun smelter tembaga menjadi alasan bagi Freeport agar pemerintah memberikan kesempatan untuk ekspor konsentrat. Hal ini ia nilai sebagai langkah untuk mendulang dana untuk membiayai pembangunan smelter.
"Kami sudah komitmen. Kami sudah melakukan beberapa langkah dengan membuat engineering design dan sebagainya," ujar Riza saat ditemui Republika di Kantor Ditjen Minerba, pekan lalu.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.