Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menyatakan serapan dana investasi tidak akan lagi menjadi indikator utama di dalam menghitung tingkat kemajuan pembangunan (progres) fasilitas pemurnian hasil mineral (smelter). Kebijakan ini rencananya akan diberlakukan pada masa perpanjangan relaksasi ekspor mineral yang dimulai Januari 2017 mendatang.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Fajar Harry Sampurno menjelaskan bahwa hal itu dibicarakan di dalam rapat tingkat Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Di dalam rapat tersebut, terdapat usulan bahwa indikator utama progress smelter adalah realisasi pembangunan fisiknya.Pasalnya, terdapat kasus di mana investor telah menyetorkan uang jaminan pembangunan smelter, namun belum melakukan konstruksi sama sekali. Sehingga, aktivitas tersebut sudah bisa dikatakan progress.
"Dari sisi progresnya akan kami naikkan lagi. Tidak boleh lagi orang ngasih uang jaminan sebagai bagian dari progres. Harus ada building-nya. Kami perlu memastikan bahwa smelter bisa jadi tidak hanya dengan uang jaminan," ujar Fajar ditemui di Gedung Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Rabu (2/11).Ia menjelaskan, progress smelter harus diawasi karena berkaitan erat dengan pengenaan bea keluar ekspor mineral.
Ia merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea KeluarBeleid tersebut menyebut jika kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter antara 0 hingga 7,5 persen, maka bea keluar yang dibayarkan sebesar 7,5 persen. Apabila realisasi progres smelter antara 7,5-30 persen, maka membayar bea keluar 5 persen. Sedangkan progres pembangunan lebih dari 30 persen, maka bea keluar yang dibayar 0 persen.
"Kalau sekarang kan progres investasinya makin maju, biayanya keluar kan makin kurang. Namun belum ada yang mengatur progres fisiknya," ujarnya.Dengan demikian, ada peluang pemerintah juga akan mengubah PMK acuan pengenaan bea keluar ekspor mineral. Pasalnya, bea keluar dihitung berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter sesuai persentase nilai serapan biaya, sesuai pasal 4A PMK no. 153 tahun 2014,Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara belum mau menanggapi perubahan indikator pengenaan bea keluar tersebut.
Ia hanya menyebut, upaya pemurnian hasil mineral juga harus menjamin kesinambungan penerimaan negara. Pilihan Redaksi Relaksasi Ekspor Nikel RI Dinilai Hanya Menguntungkan China Isu Relaksasi Ekspor Mineral Bubarkan 151 Investasi Smelter Jawab Protes, Jonan Temui Asosiasi Smelter di Kantor JK Besok "Pemurnian dan pengolahan tetap jalan tetapi penerimaan harus bisa diamankan. Detilnya masih didiskusikan," tambahnya.Kebijakan relaksasi ekspor ini rencananya akan masuk ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) no. 1 tahun 2014.
Beleid ini disiapkan untuk mengakomodasi perusahaan tambang yang sedang membangun smelter namun terkendala di sisi arus kas (cash flow).Karena menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) no. 1 tahun 2014, relaksasi ekspor seharusnya berlaku hanya sampai 2017. (gir/gen) .
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.