Pemerintah Susah Buka Identitas Perusahaan Pertambangan
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah masih sulit membuka data Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat dari perusahaan sektor pertambangan. Padahal, transparansi BO merupakan satu syarat standar pelaporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di Indonesia.
"Tidak semua orang terbuka informasi itu diketahui umum. Padahal intinya kalau dari kita adalah supaya masyarakat mengetahui apakah perusahaan itu dimiliki satu dua orang atau banyak. Itu harus disampaikan ke publik," ujar Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Perekonomian Montty Girianna di kantornya, kemarin.
Sampai sejauh ini, Montty mengatakan belum ada sanksi tegas untuk perusahaan yang tidak membuka kepemilikan perusahaannya. Menurut dia, permasalahan serupa terjadi juga di beberapa negara lain. Adapun peta jalan BO sudah diluncurkan pada akhir 2016. Pada 2020, setiap badan usaha diwajibkan untuk menyampaikan pemilik perusahaan ekstraktif untuk memenuhi standar EITI. Laporan tersebut dibuat sebagai upaya meningkatkan transparansi sektor migas dan minerba 52 negara yang terlibat di dalamnya.
Pada banyak negara kaya sumber daya ekstraktif, kerahasiaan kepemilikan korporasi bahkan menjadi satu penyebab korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak, dan monopoli terselubung. Namun sampai saat ini, hanya ada sedikit informasi yang dapat diakses oleh masyarakat tentang informasi BO.
Ketua Tim Sekretariat EITI Edi Effendi Tedjakusuma mengatakan ada beberapa faktor yang membuat perusahaan tidak membuka BO, yaitu ada perusahaan yang keberatan hingga kesulitan dalam melaporkan. Edi mengatakan BO merupakan individu yang memiliki atau mengontrol suatu perusahaan. Sementara, tidak sedikit perusahaan yang masih tercatat kepemilikannya atas nama perusahaan lain atau biasa disebut anak usaha.
"Yang jadi masalah adalah kalau pemilik perusahaan ternyata perusahaan lain yang berada di luar negeri, mereka mengejarnya sulit," tutur Edi.
Berdasarkan laporan EITI 2016 yang dipublikasikan kemarin, dari 112 perusahaan pertambangan yang terdaftar dalam EITI, hanya 80 perusahaan yang menyampaikan laporan penerimaannya kepada negara. Namun, hanya sekitar 60 perusahaan tersebut yang melaporkan pemilik manfaatnya. Sementara, dari 71 perusahaan migas, hanya sekitar 50 perusahaan yang melaporkan pemiliknya. "Soal kualitas data apakah yang mereka sampaikan itu BO atau bukan, masih ditelusuri lagi," ujar Edi.
Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono Adi menuturkan, keterbukaan BO telah dijadikan syarat pengajuan izin perusahaan di sektor ekstraktif. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018.
"Pak Menteri (Iganasius Jonan) tidak akan mau menandatangani rekomendasi atau surat badan usaha kalau tidak melampirkan struktur direksi, pemegang saham, dan komisaris dengan identitas pajaknya," ujar Agus.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.