Penambang Laporkan Dugaan Kartel Nikel Oleh 2 Smelter Raksasa
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) melaporkan dugaan kartel harga nikel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak tiga bulan lalu.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan ada dua smelter besar yang beroperasi dan menyerap nikel di atas 60% sehingga menguasai harga.
"Perusahaan yang jadi barometer smelter-smelter kecil mengikuti harga. Menyerap di atas 60% demand yang mayoritas makanya menguasai harga smelter lain mau nggak mau ikut mereka," ungkapnya di Komisi VI DPR RI besok, Rabu, (13/11/2019).
Lebih lanjut dirinya mengatakan kewajiban selama ini sudah ditaati, sehingga pemerintah didesak untuk segera menangani tata kelola nikel. Berdasarkan kesepakatan yang disampaikan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harga nikel yang akan diserap smelter paska pelarangan ekspor (29/10/2019) dengan harga US$ 30 per metrik ton.
Harga ini menurutnya terlalu murah, pasalnya berdasarkan Shanghai Metal Market harga nikel bisa mencapai US$ 46 per metrik ton. Hal ini yang menurutnya akan terus diperjuangkan, karena selama ini harganya selalu di bawah US$ 31 per metrik ton. "Kalau harganya di bawah US$ 31 yang untung smelter," imbuhnya.
Permasalahan lain yang dihadapi yakni, kerap kali nikel diberikan cuma-cuma ke smelter karena perbedaan surveyor. Saat di pelabuhan muat kadarnya 1,83% tapi saat di pelabuhan bongkar diklaim menjadi 1,39%. Saat di pelabuhan muat dan pelabuhan surveyornya berbeda sehingga timbul berbedaan kadar ini.
Smelter lokal hanya mau menyerap nikel dengan kadar tinggi di atas 1,8 %, sementara saat dicek di pelabuhan bongkar kadarnya lebih rendah dari 1,8%. Alhasil terkena reject dan harus bayar denda. Jika barang mau diangkut kembali, cost yang dikeluarkan lebih besar.
"Pemerintah mestinya hadir, kalo direject hadirkan wasit atau surveyor lain. Kebanyakan kami penambang menyumbang barang gratis ke smelter," paparnya.
Kondisi ini menjadi buah simalakama bagi penambang. Sejak Izin Usaha Penambangan (IUP) diterbitkan penambangan harus terus dilakukan untuk memenuhi kewajiban. Menurutnya ada 13 kewajiban yang harus dipenuhi.
Selama ini menurutnya kewajiban sudah dipenuhi. Dirinya menyayangkan justru perusahaan asing yang selalu diberikan karpet merah. Pengusaha lokal, imbuhnya, kena potongan harga 10% setiap ekspor dan biaya masuk 17%. "Produk mereka (perusahaan asing) gratis, kami saat dapat kuota ekpor harus bangun smelter kami ikuti," tegasnya.
Ketua Umum APNI, Ismerda Lebang menyayangkan sikap inkonsistensi pemerintah tentang larangan ekspor nikel. Mulanya tahum 2022, maju 1 Januari 2020, dan dipercepat lagi (29/10/2019) meski sementara. Menurutnya pengusaha butuh kepastian, dunia luar pun menurutnya melihat kepastian di Indonesia untuk investasi.
"Pengusaha nasional asumsinya 2022, lalu berakhr 31 Desember 2019, terjadi lagi kemarin. Pertanyaan kita tentunya siapa yang sponsori dan pelopori ini semua," tagasnya.
Anggota Komisi VI Andre Rosiade mengatakan akan segera memanggil berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Mulai dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, KPPU, dan ESDM. Pihaknya akan menanyakan kenapa tata niaga nikel berantakan dan praktik yang tidak sehat soal surveyor.
"Insyallah minggu depan akan kita tanyakan segera. Agar tata niaga nikel bisa diatur sehingga tidak ada pihak yang dirugikan sampai sumber daya kita kuasi dan untuk kepentingan smelter asing, yang mendapat fasilitas luar biasa," terangnya.
Lebih lanjut disampaikan surveyor yang berbeda hanya sesuai dengan yang dinginkan smelter akan merugikan perusahan nasional. "Logikanya ada harga patokan tapi smelter begitu percaya diri berani menekan pengusaha lokal. Berarti ada kekuatan yang baking kami akan investigasi, kalo perlu buat panja," tegasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.